Mohon tunggu...
Arif Saefudin
Arif Saefudin Mohon Tunggu... Guru - Owner/Blogger di www.arifsae.com

Guru CLC Terusan 2 di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia || Owner/Blogger di www.arifsae.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Usman Janatin, Sekelumit Kisah Pahlawan Nasional dari Purbalingga

12 November 2019   06:37 Diperbarui: 13 November 2019   10:03 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nasionalimse adalah pijar kebangsaan. Ia adalah panggilan yang satu. Ia adalah solidaritas bersama (Mohamad Hatta).

Kata-kata tersebut diucapkan Mohammat Hatta untuk menunjukan rasa solidaritas ketika terjadi sebuah peristiwa pada akhir 1968. Wakil Presiden RI pertama itu bersumpah pada istrinya, Rahmi, untuk tidak menginjakan kaki lagi di sebuah negara yang telah mengeksuksi 2 orang Pahlawan Nasional dari Indonesia. Negara itu adalah Singapura.

Negara yang pada tanggal 18 Oktober 1968 mengeksekusi 2 orang yang baru berusia 24 tahun itu. Hingga akhir hayatnya, Mohammad Hatta memegang prinsipnya itu. Ia tidak mau di undang pada sebuah seminar di Singapura atau hanya sekedar transit pesawat. Jika sikap Mohammad Hatta ini diikuti oleh jutaan warga Indonesia lainnya, Singapura bisa bangkrut.

Tragedi ini disebebkan jauh sebelum tahun 1968. Dunia pasca perang dunia II sedang mengalami Cold War (Perang Dingin) antara Amerika Serikat (AS) dengan Liberal Kapitalis-nya dan Uni Soviet Rusia (USSR) sebagai komandan Sosialis Komunis. Kondisi ini, membuat negara didunia dirundung kekhawatiran andai Perang Dingin ini pecah menjadi "Perang Panas". Perebutan supremasi antar dua negara adidaya ini terasa hingga beberapa kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Inggris, yang notabene adalah sekutu AS ingin membentuk sebuah negara persemakmuran dengan nama, "Federasi Malaysia." Negara Elizabet ini memang ingin "mengamankan" jajahannya dan tetap melihat peluang mendapatkan keuntungan dari wilayah jajahannya itu. Presiden Soekarno, yang baru saja mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI pada tanggal 1 Oktober 1962 itu melihat lain tentang pembentukan federasi. Ia mengistilahkan pembentukan itu sebagai sebuah "Neokolim," yaitu Neo-kolniaslime dan Neo-imperialisme. Pada era inilah muncul istilah "Ganyang Malaysia" dengan semangat Konfrontasi (Saefudin, 2019: 2).

Semangat yang menggelora dari Presiden Soekarno inilah yang memanggil para pemuda dari segala penjuru Indonesia untuk mengabdikan dirinya dalam seruan operasi Dwikora, Dwi Komando Rakyat, yang berisi tentang mempertinggi ketahanan Revolusi Indonesia dan membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Dalam moment inilah, muncul sosok pemuda sukarelawan dari Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) bernama Usman bin Haji Muhammad Ali alias Usman Janatin yang berasal dari Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Doa dan Cinta

Usman Janatin, nama yang lebih familiar ini sebenaranya terlahir dengan nama "Janatin" saja, doa orang tuanya ketika memberikan nama itu supaya anaknya bisa masuk Jannah (surga) kelak. Ia lahir tepat pada hari Rabu Pon tanggal 18 Maret 1943 jam 10.00 pagi. Janatin lahir dari Siti Rukijah, seorang ibu rumah tangga di Dusun Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga-Jawa Tengah. Ketika dilahirkan, Janatin merupakan anak ke-7. Ayahnya, Haji Mochammad Ali, merupakan orang yang dihormati dilingkungan desa karena posisinya sebagai seorang kayim atau lebe (Saefudin, 2019: 16).

Sebagai seorang kayim atau lebe, pendidikan Janatin juga tak jauh dari situasi religiusitas agama Islam. Dunia militer nampaknya menjadi hal biasa bagi Janatin, karena kakak sulungnya, Letkol Ahmad Kusni, merupakan pejuang kemerdekaan yang gugur pada pertempuran di Karang Kobar, Kabupaten Purbalingga pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1949. Kejadian inilah yang menjadi inspirasi Janatin untuk ikut mengabdikan diri menjadi anggota militer.

Pendidikan formalnya dimulai saat usia Janatin memasuki 7 tahun pada tahun 1951. Ayahnya mendaftarkan kesekolah formal di Sekolah Rakyat (SR) yang dekat dengan rumahnya, yaitu SR Jatisaba. Proses Janatin bersekolah di SR Jatisaba dilalui hanya selama 3 tahun, karena keterbatasan kelas, ia harus melanjutkan kelas 4 sampai 6 di SR Bancar, yang jaraknya lebih jauh dari rumahnya. Setelah melalui proses pendidikan selama 6 tahun di SR (lulus tahun 1957), Ia melanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bhakti Mulya di Bancar, Purbalingga.

Ketika memasuki akhir masa pendidikannya di SMP Bhakti Mulya pada tahun 1961, Janatin mendapatkan kabar tentang panasnya politik masalah Irian Barat. Janatin mendaftar menjadi Tamtama. Pendaftaran yang dibuka adalah untuk Sekolah Calon Tamtama KKO-AL (Secatamko) yang berada di Malang, Jawa Timur. Dengan usaha dan doa yang tinggi, pada awal tahun 1962, Janatin dinyatakan diterima menjadi anggota KKO-AL, yang masuk kedalam angkatan ke-10 (Saefudin dan Windarti, 2018: 60).

Setelah mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan, Janatin dinyatakan lulus pendidikan militer pada tanggal 1 Juni 1962. Ia berhak memakai Baret Ungu KKO-AL dan mendapatkan pangkat Prajurit III KKO-AL. Sejak dimulainya Trikora, sejumlah 2000 sukarelawan dari pasukan-pasukan terpilih Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dilatih khusus untuk terjun ke Irian Barat. Salah satu orang yang mengambil bagian dari pasukan itu adalah Janatin. Ia melaksanakan tugas untuk pertama kalinya di Irian Barat dengan melakukan Operasi Sadar. Operasi ini bertujuan untuk mengamankan hasil-hasil dalam perundingan diplomasi Irian Barat.

Setelah selesai melaksanakan tugas di Irian Barat, Janatin ditarik kembali ke kesatuannya di Surabaya. Meskipun tugas di Irian Barat telah selesai, namun tugas negara yang lain telah menanti Janatin dan prajurit-prajurit KKO-AL lainnya, yaitu Operasi Dwikora. Komando Dwikora dikumandangkan oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk konfrontasi terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang disebutnya bagian dari proyek neokolim Inggris.

Janatin diberikan tugas khusus dalam operasi itu. Namun, sebelum melaksanakan tugasnya, ia pulang ke Purbalingga untuk memberikan oleh-oleh untuk keluarganya berupa baju dan juga radio. "Jaga radione. Nasibe enyong ana nang radio kye.[1]" Pesan Janatin ketika memberikan oleh radio itu. Keluarganya tidak tau maksudnya. Janatin hanya mengatakan bahwa, "Misine enyong rahasia. Enyong rep tugas nang tempat adoh.[2]" Katanya ketika berpamitan. Keluarganya hanya memberikan doa dan cinta kepada Janatin. Tanpa mereka sadari, bahwa pertemuan itu adalah pertemuan terakhir. Janatin pergi meninggalkan Purbalingga untuk Indonesia.

Dari Purbalingga untuk Indonesia 

Tahun 1964, kondisi hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Presiden Soekarno mengeluarkan seruan Operasi Dwikora pada tanggal 3 Mei 1964. Saat itu, usia Janatin baru menginjak 21 tahun. Usia yang seharusnya sedang giat meniti cinta. Namun, baginya, masalah negara lebih utama. Ia melupakan rasa yang normal bagi seorang pemuda seumuranya karena cinta pada negara adalah segalanya. Bahkan, selama hidupnya, Janatin tidak pernah berpacaran dengan seorang perempuan.

Itulah Janatin. Ia segera bergabung dengan kawan-kawannya untuk melakukan operasi khusus. Sebelumnya, KKO-AL merekrut anggota militer maupun sipil sebagai sukarelawan. Janatin, yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Prajurit II KKO-AL setelah bertugas di Irian Barat, berhasil lulus seleksi dan mengikuti latihan khusus di Cisarua, Bogor.

Selain Janatin, jutaan pemuda ikut mendaftarkan dirinya sebagai sukarelawan. Salah seorang sukarelawan yang bergabung dengan KKO-AL adalah Tohir bin Mahdar. Dia nantinya akan menjadi rekan Janatin dalam menjalankan tugas operasinya di Singapura.

Nama operasi itu adalah Operasi A/KOTI (operasi interiteritorial, impact politis, sabotase dan lainnya), yang langsung dibawah komando Men/Pangad, Jend. AH Nasution. Daerah-daerah disektar Riau merupakan basis dari kesatuan Ops.A/KOTI sejak tahun 1964. Kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam Operasi A/KOTI selanjutnya dibagi menjadi beberapa tim dengan nama "Sandi Brahma".

Janatin menerima tugas berdasar SP. KKO No. 05/SP/KKO/64 dan Spd. KOTI No. 288/KOTI/8/64 tertanggal 27 Agustus 1964. Ia ditugaskan untuk melakukan tugas kewilayah Basis II dengan Sub-Basis X di Pulau Sambu. Dengan menggunakan kapal Meriam (gunboat), Janatin dan kawan-kawan menuju ke Pulau Sambu untuk menggabungkan diri dengan sukarelawan lainnya dalam Tim Brahma I. Di Pulau Sambu inilah Janatin berjumpa dengan Tohir bin Masdar dan seorang Sukarelawan lainnya bernama Gani bin Raoep (Saefudin, 2019: 80).

Janatin, Tohir dan Gani mendapat tugas yang sama yaitu melakukan infiltrasi sekaligus mengadakan sabotase di instalasi militer Inggris di Singapura. Janatin ditunjuk sebagai Komandan Tim. Penunjukan Janatin menjadi ketua rim dikarenakan lebih senior dan memiliki pengalaman kemiliteran yang lebih dibandingkan rekan lainnya. Tohir sendiri punya kelebihan tentang seluk beluk Singapura, karena sering melakukan pelayaran ke sana. Oleh sebab itu, Janatin banyak memperoleh informasi mengenai Singapura dari Tohir.

 Guna mengelabui agen-agen rahasia atau informan Inggris dan Malaysia, Janatin mengganti namanya menjadi nama yang familir di daerah tersebut, yaitu Usman bin Haji Muhammad Ali. Pada tengah malam 8 Maret 1965, mereka mendapat perintah untuk melakukan aksi sabotase terhadap instalasi militer Inggris di Singapura. Oleh sebab itu, mereka dibekali bahan peledak seberat 12,5 kilogram. Mereka bertiga sepakat untuk melakukan peledakan gedung megah yang terletak di pusat Orchard Road dan tidak jauh dari Istana Kepresidenan Singapura, yaitu MacDonald House.

 Misi itu berhasil. Tepat pukul 03.07 pagi tanggal 10 Maret 1965 bom meledak. Ledakan tersebut mengakibatkan 6 orang meninggal, 35 terluka dan beberapa gedung hancur. Janatin, Tohir, dan Gani berhasil menyelinap keluar. Untuk sementara, tugas mereka mendapatkan kesuksesan besar. Esok harinya, tanggal 11 Maret 1965, mereka bertemu sekaligus merundingkan berbagai kemungkinan cara kembali ke basis secepatnya.

Namun pada saat yang sama petugas keamanan dan kepolisian Singapura menggelar serangkaian operasi pencarian besar-besaran. Berbeda dengan saat mereka masuk, kali ini penjagaan sangat ketat dan aturan keras diberlakukan. Pada hari itu juga mereka berpisah, karena tidak memungkinkan untuk kembali bersamaan. Sedangkan Janatin dan Tohir tetap bersama meskipun tidak berdekatan guna menghindari kecurigaan petugas keamanan Singapura. Gani memilih jalannya sendiri.

Janatin dan Tohir menggunakan cara dengan menujukan kartu anggota PRM (Pasific Richfield Marine) Singapura dan menyamar sebagai aggota awak kapal dagang yang sedang singgap dipelabuhan. Tohir yang banyak mengenal Singapura berhasil mengelabui petugas kepolisian dan bersama Janatin menyamar sebagai pelayan dapur di Kapal dagang Begama yang hendak berlayar menuju Bangkok, Thailand. Mereka berhasil bersembunyi dengan aman dikapal itu sampai tanggal 12 Maret 1965.

Pada pagi hari, Janatin dan Tohir meninggalkan kapal tersebut karena malam harinya ketahuan oleh pemilik kapal. Mereka berusaha mencari kapal untuk meninggalkan Singapura dan kembali kepangkalan di Pulau Sambu. Ketika mereka sedang mencari-cari, tiba-tiba datang sebuah motor boat. Mereka harus memilih, pasrah dan menyerah atau berbuat sesuatu dengan dua kemungkinan, yaitu tertangkap atau lolos. Akhirnya dengan mereka berhasil merebut motor boat tersebut yang digunakan untuk menyeberang menuju ke Pulau Sambu.

Dalam perjalanan, mesin motor boat macet dan mengalami gangguan. Mereka terombang ambing ombak tanpa arah. Keberadaan mereka berhasil diketahui oleh polisi perairan Singapura. Mereka tidak dapat menghindar lagi, pada pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965 mereka ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Singapura. Tertangkapnya mereka mengakhiri perjuangan misi dan memulai perjalanan panjang proses peradilan.

Selama 3 tahun lebih, peradilan dilakukan. Berbagai upaya dilakukan, termasuk meminta grasi ke PM Lee Kuan Yew, namun di tolak. Bantuan oleh pemerintah Indonesia dengan berbagai cara tak bisa menyelamatkan keduanya. Keduanya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Akhirnya, eksekusi gantung itu dilaksakanan tepat pada 17 Oktober 1968 pukul 06.00 pagi. Kedua pahlawan itu rela meninggalkan masa mudanya demi membela martabat bangsa dan negera. Perjuangan mereka berakhir di tiang gantung pada saat berusia 24 tahun. Waktu itu, Indonesia kehilangan salah satu pahlawan bangsa (Saefudin dan Windarti, 2018: 95).

Keesokan harinya, setelah peristiwa itu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 050/TK/1968 tertanggal 17 Oktober 1968 dengan memberikan kenaikan pangkat satu tingkat yaitu Serda KKO-AL (Anm) Usman Janatin dan Kopral KKO (Anm) Harun Tohir. Sejak saat itu, mereka berdua resmi menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional dengan tanda baca Setya Lencana Bhakti.

Pembalasan yang Mengesankan

Eksekusi gantung Usman Janatin dan Harun Tohir inilah yang membuat Mohammad Hatta tidak mau menginjakan kakinya ke Singapura hingga akhir hayatnya. Reaksi keras dari Mohammad Hatta diawal hanya salah satu contoh. Karena sebagian rakyat Indonesia juga merasakan hal yang sama. Namun kesedihan rakyat Indonesia tidak berbuntut pada peperangan baru.

Presiden Soeharto memiliki cara khusus untuk "membalas" perlakuan PM Singapura karena menolak grasi mereka, yaitu pada tahun 1973 ketika PM Lee Kuan Yew ingin berkunjung ke Indonesia, Presiden Soeharto memberikan syarat: menebarkan bunga di pusaran makam pahlawan itu. Anehnya, dia setuju. Orang yang dulu menolak pengampunan mereka, kini menebar bunga diatas makamnya.

Usman Janatin dan Harun Tohir menjadi simbol perjuangan pada masa konfrontasi, mereka dianggap sebagai "tumbal" revolusi Ganyang Malaysia. Mereka berdua pernah mengalami semangat bergelora era Presiden Soekarno, dan memulai era Orde Baru masa Presiden Soeharto. Semoga generasi muda saat ini bisa mengambil pelajaran dari sikap patriot dan nasionalisme pahlawan nasional itu.

DAFTAR PUSTAKA 

Saefudin, Arif dan Windarti, Yuli. 2018. Usman Janatin dan Harun Tohir: Kisah Perjuangan Pahlawan Dwikora. Jakarta: Sayembara Penulisan Bahan Bacaan Literasi Baca Tulis Kemendikbud.

Saefudin, Arif. 2019. Patriot Bangsa Dari Kota Perwira: Biografi Usman Janatin, 1943-1968. Surakarta: Oase Group.

Steven Farram, "Ganyang! Indonesian Populer Songs from the Confrontation Era, 1963-1966". Jurnal Bijdragen Tot De Tall-, land- En Volkenkunde 170 (2014) 1-24.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun