Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bukan Hanya UU Penyiaran, Pondasinya Justru Kode Etik Jurnalistik

1 September 2020   09:40 Diperbarui: 1 September 2020   09:43 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Designed by Freepik 

"Saya bisa laporkan saudara soal ini ya..," ujarnya ketus sambil menutup telepon. Panjang lebar ia protes soal foto plat kendaraannya yang tertangkap kamera fotografer kami, dan terpublikasi di majalah cetak.

Waktu itu, kami sedang meliput profil dokter muda yang sukses dengan usaha kecantikannya, kami pun mengambil gambar tampak depan dari klinik milik si narasumber. Eh rupanya, ada mobil yang tengah parkir milik konsumen, ternyata masuk dalam frame. Tanpa kita sadari, materi ini pun naik cetak, yang rupanya si empunya mobil belakangan tahu hal ini setelah majalahnya beredar. Si ibu yang mungkin malu karena ketahuan berada di klinik kecantikan, menumpahkan emosinya memarahi kami.

Pernah pula, satu gambar ilustrasi yang kami tayangkan, karena ukuran foto yang berbeda dengan space lay out, menyebabkan gambar ilustrasi tersebut terpotong, pemilik ilustrasi itupun komplain. Bahkan ketika masih duduk di bangku kuliah, beberapa kali media yang saya dan kawan-kawan terbitkan, dibredel. Tak di izinkan terbit karena ada gambar yang dinilai tak sopan.

Inilah sekelumit cerita yang saya bagi dalam buku baru saya yang rencananya berjudul Kontenologi, naskahnya sudah masuk tahap desain di penerbit Gramedia, namun terhambat karena adanya pandemi. Topiknya melanjutkan  buku saya sebelumnya yang berjudul Make Your Story Matter (Gramedia, 2019). Cerita perjalanan saya dan kawan-kawan di kantor sebagai pembuat konten untuk publikasi cetak, di mana dalam prosesnya, kami harus terbentur dengan berbagai aturan kebebasan orang lain yang harus kami taati.

Baik Kontenologi maupun Make Your Story Matter, menyoroti soal sosial media yang semula hanya untuk berjejaring ria, kini juga berperan sebagai platform media informasi layaknya perusahaan pers (Saya ceritakan lebih detil dalam artikel saya sebelumnya yang berjudul Sosial Media: Semula Berbunga-Bunga, Dibangkrutkan, dan Kini Mencoba Bangkit Menungganginya). Artinya, setiap orang kini menjadi jurnalis, mengabarkan berita sekalipun itu hanya terkait soal kesehariannya, melalui sosial media.

Dalam perjalanannya, pemerintah kemudian membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Electronic Information and Transactions Law), untuk menjaga agar konten yang dipublikasi warga, tidak kebablasan. Dan beberapa hari ini, perkembangannya meluas, menyoroti UU Penyiaran yang digagas kawan-kawan dari RCTI ke Mahkamah Konstitusi. Ini serupa dengan protes transportasi (taksi) konvensional ketika adanya transportasi dengan platform online, atau pengusaha hotel karena munculnya layanan penginapan oleh warga melalui platform digital. 

Baik transportasi maupun para pengusaha hotel merasa tersaingi oleh aturan permainan yang tidak seimbang, di mana warga yang bisa membuka jasa dirinya sebagai pengemudi online, atau menyewakan kamar rumahnya sebagai penginapan, tidak terkena aturan soal pajak, atau aturan soal sanitasi, atau keamanan berkendara dan sejumlah regulasi lain yang diterapkan oleh perusahaan transportasi dan hotel konvensional. Kini ranah pertarungannya bergeser ke perusahaan media, yang keberatan jika tayangan dari para pembuat konten di platform over the top (OTT), -dalam hal ini sosial media atau perusahaan media layanan hiburan dengan akses digital, bisa dengan bebas memproduksi konten tanpa ada regulasi yang membatasi.

Bagi saya pribadi, menulis buku Make Your Story Matter juga di awali oleh keresahan ini, bahwa kesenjangan antara social skills dan social tools menyebabkan banyak orang mencoba membuat konten, -baik untuk berbagi kesehariannya, pun untuk promosi dan mencari rezeki melalui sosial media, tanpa tahu rambu-rambunya. 

Padahal, aturan mainnya ada, agar pesan yang kita komunikasikan melalui konten yang kita produksi, sampai ke warganet yang melihat (konsumsi). Sejumlah konten yang dibuat tanpa aturan inilah yang justru bisa merusak ekosistem digital di Indonesia. Eksploitasi untuk tayangan anak, penggunaan bahasa yang tidak sesuai budaya timur kita, bahkan dengan terang-terangan mengonsumsi produk ilegal, menjadi bagian dari sebuah konten yang aman-aman saja selama tidak ada yang melaporkan. Bahkan cara merakit bom pun, bisa kita pelajari dari sosial media.

Itu sebabnya, bagi saya pribadi, layanan OTT tidak hanya diatur dalam UU Penyiaran, namun juga terdaftar dalam keanggotaan pers, karena sifat konten yang dipublikasi melalui layanan OTT serupa dengan produk jurnalistik dari perusahaan pers. Di mana orang yang menyampaikan berita, layaknya wartawan yang menyampaikan warta. Maka aturan soal kode etik, sedianya juga mengikat mereka. Kode etik pers bekerja dengan 3 kaidah, yakni pencarian kebenaran, melayani kepentingan publik dan meminimalisir penyalahgunaan privilege yang berpotensi merugikan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun