Cara ini pula yang pernah di lakukan Scolari ketika membawa Brazil juara dunia, mengorbankan Jogo Bonito, bermain pragmatis yang penting menang dan menggegam piala.
Strategi untuk menang ini, nampaknya memang jadi lebih utama daripada bermain dengan cara yang baik dan benar. Toh saat ini, penonton juga senang, sekalipun permainan dianggap tak menghibur, namun fans gembira dengan hasil akhir.
Di percaturan politik, hal senada terjadi. Kubu patahana, yang selama ini dikenal 'main cantik', tak ragu mengadopsi cara lawannya yang agresif.
Dari penunjukan calon Wakil Presiden yang sarat nuasa politik identitas --satu hal yang dulu ditentang mereka- serta membangun pertahanan habis-habisan menampik serangan isu, yang yang benar, maupun yang keliru.Â
Memanfaatkan kelemahan demokrasi sebagaimana di khawatirkan Socrates beradab silam, ketika ia menolak sistem pemerintahan ini.
Karena menurutnya, dengan memberikan hak politik (memilih) kepada masyarakat bawah, yang notabene tak mengerti politik, maka kualitas pemerintahannya tak cukup legitimasi.Â
Dan betul saja, saat ini, dengan mudahnya uang digunakan untuk membangun persepsi, di masyarakat bawah, pilihan bisa tergantung berapa amplop atau baju kaos yang mereka dapatkan, bukan berdasar siapa calon yang menurut hati nurani mereka benar.Â
Socrates meminta demokrasi di buang, dan mengadopsi aristokrasi, yang sayangnya, paham ini juga menjadi tirani dalam sejarah.
Dan sekarang ini, bukan politik uang saja yang juga berperan, tapi juga berita bohong, yang diproduksi untuk mendulang suara. Di kelompok masyarakat kebanyakan, berita bohong bisa berarti benar, tak perlu jurus sakti ilmu copywriting tingkat dewa.
Cukup dengan menyelipkan satu-dua hal yang mengutak atik emosi, dan ketika emosi memuncak, maka logika menurun, dan yang bohong pun, menjadi benar dan layak dipercaya.
'Dikelabui' Algoritma
Apalagi dengan sistem kerja (algoritma) sosial media saat ini, dimana kesamaan minat, akan diklasifikasikan pada kelompok yang sama.Â