Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kantong Tekor Ekonomi Pancasila

24 Desember 2018   10:39 Diperbarui: 26 Desember 2018   16:02 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: freepik.com

Belakangan, PKN (pendidikan Kewarganegaraan) dan Pancasila menjadi wacana untuk kembali diajarkan kepada siswa sekolah, tujuannya untuk mengikis intoleransi dan radikalisme yang diduga meningkat. Entah darimana hipotesa pemerintah soal ini, bahwa mata pelajaran tersebut berkorelasi pada intoleransi dan radikalisme

Saya pun tak punya dalil untuk mengatakan ini sebaliknya, namun jika melihat kurikulum di negara-negara lain yang tak memiliki pelajaran serupa PKN dan Pancasila namun aman-aman saja, maka saya berasumsi ini tak ada korelasinya. Bak kendaraan yang pecah ban, namun diperbaiki spionnya.

Namun saya meyakini, persoalannya memang ada di Pancasila, tapi bukan mata pelajarannya, tapi di sistem ekonominya, yang menurut buku modul kelas 12 SMU, dinyatakan Indonesia menganut sistem ini. Oleh Wikipedia dijabarkan sebagai sistem perekonomian yang didasarkan pada lima sila dalam Pancasila, istilah yang muncul pertama kali pada tahun 1967 dalam artikel Dr. Emil Salim.

Apa korelasinya?

Teorinya, penerapan kebijakan yang keliru akan berujung inflasi tinggi dan pertumbuhan rendah. Namun Indonesia sebaliknya, inflasi rendah dan pertumbuhan cukup baik jika di bandingkan sejumlah negara lain. Handicap-nya ada di defisit transaksi berjalan. Tak tanggung-tanggung, Bank Indonesia (BI) mengumumkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 8,8 miliar atau 3,37% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal III.

Definisi text book-nya kira-kira begini, transaksi berjalan adalah indikator perdagangan internasional meliputi barang, jasa, pendapatan faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja), dan transfer uang. Jadi kalau tercatat defisit, maka negara tersebut punya 'utangan' dari negara-negara lain. Kalau mau diambil pengertian mudahnya, ini ibarat berdagang, 'jualan ' kita , lebih kecil daripada 'pembeliannya', besar pasak daripada tiang. 

Ketika defisit, ketergantungan terhadap valas tentu menjadi lebih besar, dan para investor secara psikologis menilai ini tanda ekonomi tak sehat, dan memutuskan untuk tidak menanamkan modalnya di Indonesia (padahal inilah yang sebenarnya kita harapkan). Sehingga ketika defisit, rupiah melemah dan terkadang karena alasan politik, ini bisa menjadi isu yang menggelinding bak bola salju, membesar ketika viral dengan drama yang menjadi-jadi.

Defisit transaksi berjalan di tahapan sebuah negara bertumbuh memang dinilai wajar, karena pembelian yang dilakukan untuk barang-barang modal belum bisa menghasilkan dalam waktu cepat. Ini terjadi pada Singapura, Korea bahkan China. Namun seiring waktu, dengan efisiensi dan produktifitas dari akumulasi proses barang-barang modal yang telah di olah, maka defisit transaksi berjalan diharapkan bisa tereduksi.

Yang membuat ini terasa ganjil, karena kondisi dimana Indonesia mengalami defisit sudah terjadi sejak kuartal IV 2011, sekalipun ketika itu masih di kisaran 2%. Kedua, ditahun 2018 ini, defisit menembus 3% pada kuartal II dan berlanjut ke kuartal III, yang melewati batas aman rasio 3%. Dan selama defisit, selama itu pula kita 'menutupinya' dengan berbagai cara, termasuk 'cas bon'.

Ini artinya, sudah cukup lama kita terus 'berinvestasi' tanpa ada imbal hasil yang signifikan, bahkan melebar. Terlebih pemerintah tengah gencar mengejar ketertinggalan kita di infrastruktur, yang mendorong kenaikan impor untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dalam negeri.

Untuk menekan defisit, pemerintah juga harus menekan pertumbuhan. Cara berhitungnya bisa ditilik dari rumusan ICOR (incremental output ratio), yakni 1% pertumbuhan ekonomi, membutuhkan rasio investasi 6% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Jadi kalau Indonesia mau mengejar pertumbuhan 6%, maka harus mencapai rasio investasi 36,6%, jika ini dibiayai dari tabungan domestik, hanya tersedia 32-33% saja (Chatib Basri, Kompas 13 Desember 2018), terlihat ada selisih antara tabungan dan investasi, yang mencerminkan defisit dari transaksi berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun