Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Saya Menjadi Orang Pedalaman

13 Januari 2021   20:31 Diperbarui: 13 Januari 2021   20:59 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viral Mal di Surabaya Ramai, Ini Toko yang Dibolehkan Buka oleh ... urbanasia.com

Saya baca tertulis "americano latte", mbuh rasane piye. Yang jelas asal kopi pasti akan nikmat rasanya. Di kasir struk pembelian saya serahkan. Uang 100 ribu rupiah dikembalikan dua biji permen. Ha ha ha .... Dasar orang kota!

Kopinya sih sepertinya sama dengan yang biasa saya minum, cuma di tempat itu ada AC, musik, dan kursinya sangat empuk. Di dindingnya ada televisi lebar dengan lagu yang mengalun syahdu.

Begitulah, dua cerita konyol saya dalam pengembaraan menjadi orang kota. Saya sangat tidak menikmatinya. Maklum terbiasa tinggal di tengah belantara, kiri kanan jalan hanya sawah dan sebagian kadang kebum sawit dan karet.

Paling seru adalah ketika melihat bekantan, bangkui, monyet ekor panjang dan kera hitam. Suara teriakan mereka membelah alam. Diselingi suara merdu burung liar.

Saya hanya berpikir, untuk memanjakan mata dengan pemandangan indah. Untuk memanjakan lidah dengan aneka sajian nikmat. Dan untuk telinga dengan suara merdu, masyarakat modern harus membayar mahal.

Bukankah dengan kopi buatan sendiri dan diseduh dengan cinta, rasanya juga nikmat luar biasa? Bukankah mendengarkan suara aneka hewan yang ada di alam liar juga memiliki ke khasan tersendiri? Demikian juga, bukankah dengan menyaksikan hijaunya hamparan pepohonan dan persawahan memberikan kenikmatan pada penglihatan kita?

Kita mungkin akan berbeda pendapat tentang ini. Gaya hidup masing-masing individu juga tidak sama. Ada yang lebih suka ayam goreng tepung dari rumah makan berkelas atau swalayan. Sementara ada yang lain lebih senang dan bergairah dengan menyembelih sendir membersihkannya kemudian membakarnya lalu menyantapnya rame-rame.

Terakhir, jika kondisi pedalaman, baik pantai, gunung, hutan dan segala apa yang mendukungnya tidak menarik masyarakat modern mengapa mereka dengan susah payah harus menunggu hari libur untuk melakukan perjalanan ke puncak-puncak, berwisata ke pantai, dan perbukitan?

Artinya, kondisi alami dan natural yang ada di pedalaman masih menjadi dambaan secara naluriah.

Permasalahannya adalah bagaimana modernisasi begitu gencar dimasukkan ke pedesaan, ke pedalaman sehingga perilaku masyarakat dan hudaya mereka perlahan-lahan bergeser.

Menurut saya, masih banyak masalah yang perlu kita cermati dan kita kembalikan pada porsinya. Biarkan warga masyarakat pedalaman dengan budaya dan tradisinya. Demikian juga dengan warga kota dengan segala tetek bengeknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun