Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajen, Menghitam di Bola Matanya

28 Desember 2020   20:34 Diperbarui: 28 Desember 2020   20:52 1856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pena rakyat news URI-URI SEJARAH NUSANTARA eds. SESAJEN (SAJEN) -- PENA RAKYAT NEWS

Sajen, Menghitam Di Bola Matanya

Seperti jalinan listrik dalam otak. Ayam cemani menempati posisinya. Teramat istimewa datangkan rejeki dan menolak bala. Dari ritual biasa hingga ritual istimewa. Ia diburu dengan segala cara. Tak peduli berapa pun harga. Yang penting ada.

Seperti bola mata di sekeliling hitamnya. Apem menjadi pelebur dosa. Menjadi payung arwah leluhur yang telah meninggal. Mewakili permohonan ampunan. Diusung dalam arakan kematian.

Senyum dan tertawa menjadi tanda betapa bahagia mendekati raga. Bersusun rapi sela-sela gigi. Begitulah pisang menjadi suci. Tak akan pernah mati saat sisiran buah masak diujung tangkainya. Persembahan awam pada tanah yang telah membesarkan. Pijakan hingga tempatnya bersemayam.

Tujuh lapis langit adalah tujuh lapis buah kelapa. Setelah sekian tahun kehidupannya. Air jernih manis tak terkira. Menjadi tekad yang buat, kendaikan keinginan dan ketercapaian. Kelapa jumawa di atas buah lainnya.

Dewi Sri, engkaulah beras yang dimakan. Dalam perkawinan, pengantin tunduk pada tumpukan beras. Awali kehidupan sebuah keluarga.

Ayam cemeti, apem putih, pisang raja, buah kelapa, dan beras dalam adukan tipis menutup kelopak mata. Mengeras menjadi kulit batok kepala. Lalu, tumbuh rambut lebat melindunginya. Bersayam di bawah kesadaran sepenuhnya

Ketika siang, sajen mengganti matahari menyilaukan mata. Ketika malam, sajen menjadi gelap menutup apa pun yang terlihat. Dan ketika senja, sajen berubah menjadi hantu menakut-nakuti anak di luar rumah mereka.

Saat pagi, sajen siap menjadi tongkat penghuni tampahnya. Berjalan pada siang dalam silauan matahari, malam dalam gelap lalu menyinari, dan senja dalam takut yang tak terkira.

TB, 28 Desember 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun