Mohon tunggu...
Arif Nasiruddin
Arif Nasiruddin Mohon Tunggu... Administrasi - Buruh ketik kantor pemerintah

Penglaju Bantul-Jogja PP, penggiat pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melintas Madiun, Sebuah Catatan Perjalanan

7 September 2017   14:12 Diperbarui: 7 September 2017   14:22 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti Jogja bukan hanya Malioboro, Jawa Timur tidak hanya Surabaya, dan Jawa Tengah tidak hanya Semarang. Ada mereka yg tinggal di desa-desa, membuat rumah-rumah di pinggir sawah, bergantung hidup dari hasil sepetak tanah; mungkin doa-doa merekalah yg lebih sering, lebih sering berharap pada Tuhan tentang musim dan hasil panen. Tentang harga yang naik turun dan bayangan rentetan kebutuhan tahun ini. 

Demikian juga Indonesia, Indonesia tidak hanya Jakarta, Indonesia juga tidak hanya Bali,  tidak semua penduduk seperti teman-teman saya; yang menawari duduk sejenak di cafe bermerek asing, minum secangkir kopi, membayarnya seratus ribu, lalu tersenyum dan bilang, "Terima kasih".

Orang-orang ini orang Indonesia juga, mereka ingin juga minum secangkir kopi, tapi tak ingin membayar seratus ribu untuk itu. Mereka bilang, " Terlalu mahal! ; masih banyak agenda hidup yang lebih membutuhkan seratus ribu dari pada secangkir kopi.

Lihat juga keluar jendela, di perempatan itu, siang hari anak-anak itu tidak sekolah, mungkin karena orang tuanya yg dungu, tapi mereka anak indonesia juga. Sebagian tak ada lagi bayangan tentang masa depan, karena bayangannya hanya dapat uang cukup sore ini. Jadi Anak Indonesia tidak hanya yg kita temui tiap hari, di rumah kita yg tertata rapi. Anak-anak yg makan saja pilih-pilih, kalau tak pakai telur tak mau makan, kalau tak enak bilangnya, "Ogah, Ah". 

Anak-anak ini seharusnya ikut melihat keluar jendela, pada teman-teman mereka yg bermain bertelanjang kaki di pinggir sawah kering; Mereka juga anak Indonesia. Walaupun kulitnya gelap, mereka sehat-sehat saja, mereka tak minta makan burger, steak, tokoyaki, atau tiramisu, bahkan mereka pasti asing dengan nama-nama itu.

Mereka yg dipojok jembatan itu juga orang Indonesia, yang mengendap lalu melempar seember sampah ke kali; yang menerobos lampu merah dengan wajah mendongak bangga; yang menebangi hutan dan menganggap semua akan baik-baik saja. 

Mereka itu juga orang tua Indonesia, yang menghabiskan tabungannya untuk menghentikan rengekan anaknya dengan membelikan sebuah gawai canggih, padahal tak tahu bahayanya. Mereka bilang, "sudahlah, yang penting mereka heppy saja, teman-temannya jg begitu...". Eeealah.

Tapi itulah Indonesia, beragam sebanyak  ragam warna yg bisa diciptakan. Banyak kelompok dan masing masing punya kepentingan. Banyak kepala dan masing masing punya keyakinan. dan ada satu yang selalu saya takutkan, banyak orang yg terlanjur tak punya kepedulian. Melihat keluar jendela dan menganggap semua baik-baik saja, melakukan sesuatu demi enaknya saja, datang membantu demi kepentingannya. 

Kelas Ekonomi malioboro Ekspress,

Jogja - Malang

7 September 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun