Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Beda Antara Unjuk Rasa Hakim dan Penentuan Upah yang Represif terhadap Buruh

9 Oktober 2024   17:40 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:39 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah hakim di PN Makassar melakukan unjuk rasa (Kompas.com/Reza Rifaldi)

 

Catatan  Arif Minardi

Aksi mogok atau cuti bersama para hakim pengadilan pada 7-11 Oktober 2024 telah direspon positif oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto dan segenap anggota DPR. Tuntutan para hakim pada prinsipnya terkait dengan kenaikan penghasilan atau gaji. Aksi para hakim di atas merupakan preseden atau contoh kepada seluruh profesi yang ada di negeri ini bahwa tuntutan kenaikan gaji atau upah yang paling efektif adalah melalui unjuk rasa besar-besaran disertai mogok kerja seluas-luasnya. 

Tampaknya untuk sementara para hakim sudah puas karena aspirasi dan tuntutannya akan segera dikabulkan. Hal ini tentu menginspirasi seluruh pekerja dari berbagai jenis profesi yang ada di negara ini. Terlebih para pekerja atau buruh yang sepanjang pemerintahan rezim Jokowi terus mengalami penderitaan akibat kebijakan upah murah yang ditentukan dengan cara yang represif.

Diharapkan Presiden Prabowo Subianto tidak lagi meneruskan kebijakan upah presiden sebelumnya yang terbukti menyengsarakan buruh. Apalagi kebijakan represif tersebut sangat bertolak belakang dengan kaidah dunia, hal itu terlihat dalam teori terkait upah minimum yang berhasil meraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2021.

Periode kekuasaan Jokowi terus diwarnai dengan penentuan upah minimum yang sangat represif. Bahkan pemerintah pusat mengancam terhadap kepala daerah yang tidak mampu menerapkan ketentuan upah akan dicopot.

Penentuan upah dilakukan secara tangan besi oleh pemerintah. Dengan dalih penetapan upah minimum adalah program strategis nasional maka tidak ada lagi kompromi yang membuka peluang penentuan upah diluar ketentuan PP No.36/2021.

Pemerintah Jokowi selalu pasang badan untuk melindungi kepentingan pengusaha terkait dengan ketentuan upah. Suara organisasi pekerja tidak digubris. Sungguh ironis, kenaikan upah minimum yang sangat kecil tersebut selalu diputuskan dalam rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Kebijakan represif upah di-backup oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian RI (Polri), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kejaksaan Agung.

Rezim pengupahan tangan besi yang represif juga terlihat dengan dihapusnya upah minimum berdasarkan sektor. Kementerian Ketenagakerjaan memastikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2021 tentang Pengupahan hanya mengatur soal upah minimum berdasarkan wilayah. Regulasi tersebut tidak lagi mengatur upah minimum berdasarkan sektor.

Pemerintah pusat mengancam bakal memberhentikan secara permanen gubernur atau kepala daerah yang tidak mengikuti formulasi penghitungan upah minimum (UM). Yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang menjadi turunan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun