Salah dua hal yang kuingat tentang memberikan hadiah kepada guru adalah ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pertama saat ada guru kelas yang pensiun. Kedua, saat acara perpisahan karena telah lulus dari bangku Sekolah Dasar.
Masa-masa itu, tentu saja kami belum mengenal apa itu korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi. Beberapa diksi yang ternyata sangat familiar ketika kami sudah beradai di jenjang Pendidikan yang lebih tinggi.
Kami memberi hadiah, atau lebih tepatnya disebut kenang-kenangan, atas inisiatif sendiri. Bukan inisiatif orang tua, ataupun budaya (sudah tradisi). Kami memberi, pertama karena rasa syukur. Ya bersyukur aja karena pada akhirnya bisa lulus SD. Lalu bisa lanjut ke SMP. Bukankah sampai sekarang kita adalah orang yang memang gampang bersyukur? Sedikit sedikit self reward, sedikit sedikit self reward.
Kedua karena rasa terima kasih. Ya dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) mengucapkan terima kasih adalah salah satu sifat terpuji. Dan sederhananya, kami memberi kenang-kenangan sebagai ucapan rasa terima kasih.
Ketiga, tentu saja sebagai ajang eksistensi. Yang perlu diketahui bersama, hadiah yang kami berikan bukanlah barang mewah dengan harga yang mahal. Yang kami berikan adalah jam dinding dengan background foto siswa satu kelas. Namanya kenang-kenangan, ya harus ada sesuatu yang bisa menjadi pengingat kalau kami pernah ada dan diajar oleh Sang Guru yang bersangkutan.
Namun saat ini, hal baik tersebut justru menjadi bahan pembahasan dan pertanyaan dengan megatasnamakan gratifikasi. Pemberian-pemberian yang mungkin bisa menganggu profesionalitas Sang Pengajar. Hal baik yang justru dipertanyakan ditengah banyaknya hal kurang baik yang dibiarkan.Â
Sebut saja tentang kurang sejahteranya guru-guru, tentang fasilitas Pendidikan yang tidak tersebar merata, tentang kurikulum Pendidikan yang dinilai tidak memberikan kecerdasan hidup untuk para peserta didik.
Kembali ke soal gratifikasi yang dinilai mengganggu profesioanlitas guru. Memang profesionalitas guru yang mana yang terganggu dengan pemberian jam dinding yang itupun dilakukan setelah hak dan kewajiban pengajaran telah dituntaskan?
Mengganggu profesioanlitas yang mana saat yang memberi adalah "anak-anak ingusan" dengan pikiran polos khas anak-anak? Daripada "berpolitik" kepada guru, lebih baik belajar mencongklak agar saat pulang tidak menjadi siswa yang terakhir pulang (dulu saat pulang sekolah, ada semacam kuis, biasanya matematika.Â
Yang tahu dan selesai dulu boleh pulang dan yang belum harus tinggal dulu di kelas untuk sementara).
Dan dari guru pun, tidak ada hadiah yang diharapkan dari murid muridnya. Pasti guru berharap murid-muridnya bisa menjadi orang sukses, berakhlak mulia, dan beragam kebaikan moral yang lain. Dan seharusnya, harapan itu bukanlah hadiah.