Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Sang Penjaga Makam Para Raja

13 Januari 2015   17:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:15 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_346056" align="aligncenter" width="640" caption="Mbah Jadir, seorang abdi dalem penjaga Makam Raja-raja Mataram di Imogiri (dok. pribadi)"][/caption]

Matahari mulai menyengat di antara gerombolan awan yang menaungi Jogja. Siang yang terasa sumuk (lembab dan berkeringat) tak menyurutkan langkahku menapaki jejak-jejak leluhur Mataram di sebuah makam. Makam Raja-Raja Mataram Imogiri nama tempatnya, terletak di Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Komplek pemakaman Imogiri relatif terkenal di Jogja. Tak sedikit pula wisatawan yang berlibur ke Jogja mengunjungi area makam yang dibangun sejak 1632 Masehi ini. Seperti pada siang yang saya saksikan kali ini, saya menjumpai beberapa wisatawan mancanegara yang mungkin penasaran dan ingin melihat bagaimana pusara para raja Mataram yang terletak di antara gugusan Pegunungan Sewu, Jogja bagian selatan.

Namun sebelum menaiki ratusan anak tangga menuju makam, langkah saya terhenti untuk sejenak mengamati silsilah keluarga raja-raja Kutai hingga Mataram dan Masjid Makam Imogiri yang tepat berada di depan gerbang.

[caption id="attachment_346057" align="aligncenter" width="640" caption="Silsilah raja-raja Kutai hingga Mataram"]

1421117433305163953
1421117433305163953
[/caption]

Situasi makam yang rindang kemudian membimbing saya untuk duduk di sebuah pendopo kecil di depan Masjid Makam Imogiri, sambil menyambangi seorang abdi dalem yang bertugas di area pemakaman ini.

Abdi dalem yang saya temui bernama Mbah Jadir, lelaki berumur 70 tahun yang kini berpangkat sebagai Mantri abdi dalem Kraton. Beliau dipasrahi tugas sebagai salah satu juru kunci makam.

Percakapan hangat nan seru pun terjadi. Saya yang penasaran dengan kisah teladan Sultan Agung langsung dijawab Mbah Jadir dengan mengawali cerita tentang ‘kesaktian’ Sultan Agung yang tak pernah gentar berhadapan dengan musuh-musuhnya.

Selain bercerita tentang bagaimana karisma Sultan Agung Hanyakrakusumo selama menjadi pemimpin Mataram yang disegani dunia sampai dinobatkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, obrolan juga berpindah-pindah sesuai aliran tema yang diperbincangkan.

Tak ketinggalan Mbah Jadir juga berbagi pengalaman hidupnya yang pernah merantau ke pusat Kota Jogja, menjadi kondektur bus semasa mudanya, kemudian menjelajah Jakarta, hidup seadanya, hingga memutuskan untuk menjadi abdi dalem Kraton hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Sesekali dalam ceritanya Mbah Jadir juga sering mengutip filosofi hidup yang sering diterapkan orang Jawa seperti sadumuk bathuk senyari bumi, nrimo ing pandum, sabda pandita ratu tan kena wolak-walik, dan sebagainya. Dengan bijak, Mbah Jadir mengingatkan agar generasi muda jaman sekarang juga tak melupakan prinsip-prinsip hidup yang diajarkan leluhur yang masih relevan untuk diterapkan.

[caption id="attachment_346059" align="aligncenter" width="640" caption="Seorang abdi dalem berjalan di depan Masjid Makam Imogiri (dok. pribadi)"]

14211178741103023074
14211178741103023074
[/caption]

Saat saya bertanya tentang kehidupan abdi dalem, Mbah Jadir menuturkan, “Jadi abdi dalem bayarane memang sedikit, Mas. Tapi yo alhamdulillah mencukupi. Sejak Undang-Undang Keistimewaan disahkan, kehidupan abdi dalem lumayan ada perbaikan, Mas. Yo pokoke dapur iso tetep ngebul (Ya pokoknya dapur bisa tetap berasap),” seru Mbah Jadir dengan tersenyum.

Iya juga sih, yang sebenarnya dicari orang sebagai ‘operasional hidup’ sebenarnya bukan kuantitas yang banyak, melainkan pengetahuan dan perasaan hingga level ‘cukup’ buat kita. Mbah Jadir adalah bukti nyata bagaimana rasa syukur mampu membuat cukup perasaan atas nikmat yang diberikan Tuhan.

“Lalu apa suka dan dukanya menjadi abdi dalem, Mbah?” aku kembali bertanya.

Urip kuwi mung sawang sinawang(Hidup itu hanya saling memandang), Mas. Abdi dalem kelihatannya sepele, apalagi seperti saya, menjaga kuburan. Tapi, setiap pejabat, jenderal, calon presiden, bahkan presiden yang berkunjung ke sini, pasti bersalaman dan manut (patuh) sama aturan (dan prosedur) kami,” ujar Mbah Jadir mantap.

[caption id="attachment_346058" align="aligncenter" width="640" caption="Antusias menyimak kisah Mbah Jadir (dok. pribadi)"]

1421117765848054273
1421117765848054273
[/caption]

Di usia senjanya, Mbah Jadir tampak bugar dan sumringah melakoni segala aktivitasnya. Sungguh kesempatan berharga bisa bertemu sosok inspiratif dan bijaksana seperti beliau.

“Saya sudah puluhan tahun menjaga makam. Kini saatnya sisa usia saya dihabiskan untuk menabung amal sebelum saya sendiri dimakamkan. Yo ngene iki (Ya begini) Mas, setiap waktu sholat datang, saya harus menjadi yang terdepan di antara jamaah lain dan teman-teman,” seru Mbah Jadir sambil bersiap untuk wudhu setelah adzan berkumandang.

__________________

Klik tulisan lainnya:

Menjemput Kedamaian di Bukit Bintang

Gerakan Ibu Desa: Mari Kembalikan Aset Desa dari Ibu Kota!

Beramal Sambil Berpetualang, Mengapa Tidak?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun