Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jalan Terjal Membumikan Jogja Istimewa

31 Agustus 2016   20:29 Diperbarui: 31 Agustus 2016   21:43 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Jogja, salah satu landmark populer di Jogja (dok. pribadi)

Rabu (31/08/2016) pagi hingga siang tadi, ada yang berbeda ketika kita memasuki kantor-kantor pemerintah di Jogja. Sebagian besar pegawai mengenakan pakaian tradisional khas daerah yang terbentang dari Gunung Merapi hingga Laut Selatan ini. Outfit yang tidak biasanya ini tak lain karena hari ini di Jogja diperingati sebagai hari disahkannya Undang-undang Keistimewaan (UUK) Nomor 13 tahun 2012 yang dilakukan pada 31 Agustus setiap tahunnya.

Dalam aturan tersebut, ada lima hal yang menjadi urusan utama keistimewaan: pertama, tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur. Poin kedua hingga kelima berturut-turut adalah tentang kelembagaan Pemda DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.

Sejak disahkan empat tahun yang lalu, menarik diamati bagaimana pelaksanaan aturan tersebut di lembaga setingkat provinsi yang telah ada sebelum Indonesia menjadi negara merdeka ini. Awalnya, usaha menggapai legal formal keistimewaan begitu dielu-elukan oleh berbagai komponen masyarakat di Jogja. Bahkan masyarakat turun ke Malioboro maupun jalan protokol lainnya dan menuntut pemerintah pusat memberi ketegasan tentang status DIY sebagai wilayah istimewa.

Namun alih-alih terus digemakan, gelombang reaktif justru muncul setelah UUK resmi disahkan pemerintahan yang lalu. Gerakan Jogja ora didol(Jogja tidak dijual), mural Jogja asat (Jogja kering), plesetan Jogja Berhati Nyaman menjadi Jogja Berhenti Nyaman, dan sejumlah kritik sosial berganti mengisi ruang-ruang publik Jogja. Di ranah maya, tentunya kita masih ingat bagaimana branding logo Jogja mendapat reaksi keras dari netizen yang kemudian dipelintir menjadi Togua. Logo yang akhirnya direvisi dan diserahkan kepada masyarakat untuk ramai-ramai urunan (iuran) ide ini akhirnya menjadi logo Jogja Istimewa seperti yang sekarang kita lihat.

Logo Jogja Istimewa (cahyogya.com)
Logo Jogja Istimewa (cahyogya.com)
Jogja yang menjadi magnet wisata dunia membuat eksposur tentangnya cepat mendapat respon dari khalayak. Bahkan mungkin karena wilayah spesial ini selalu mengundang kenangan, selalu saja ada yang mempedulikan bagaimana Jogja menggerakkan pembangunannya.

Pertanyaan pentingnya terkait momen hari ini adalah, sudah sampai di mana keistimewaan jogja? Apakah benar bahwa Jogja memang istimewa?

Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur DIY sering menjadi titik pusat ketika masyarakat mendiskusikan keistimewaan Jogja. Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini sangat ditunggu masyarakat dalam mengimplementasikan dan menjadi rujukan utama bagaimana membumikan tagline  ‘istimewa’ di Jogja.

Dalam beberapa kesempatan, Sultan HB X sudah sangat tegas menginstruksikan bahkan menyindir para pembantunya di pemerintahan agar ‘Jogja Istimewa’ bukan hanya dijadikan sebagai wacana, melainkan direalisasikan dalam berbagai kegiatan nyata. Selasa (30/08/2016) kemarin, dalam sebuah acara pelantikan bahkan Sultan HB X secara gamblang menuturkan, “Penghargaan atas Keistimewaan DIY tidak cukup hanya dengan merawat kenangan, berpangku tangan sambil bernostalgia, tetapi harus membangkitkan semangat untuk cancut taliwanda-golong-gilig-saiyeg-saeka-kapti membangun kesejatian Jogja istimewa agar tercapai kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat”.

Sultan HB X sangat berharap agar para PNS di Pemda DIY mewujudkan kemampuan berinovasi, kecepatan responsif terhadap lingkungan strategis, dan peningkatan pelayanan masyarakat. “Inovasi, inisiatif, dan kemauan besar untuk maju pada PNS nantinya akan menggeser pola ‘nengga dawuh’ yang sering terdengar di lingkaran birokrasi”, Sultan menambahkan.

Jika Gubernur sebagai seorang pemimpin tertinggi di DIY sudah sering memberikan perintah demikian, lalu pertanyaan berikutnya apakah bahasa ini sudah diterjemahkan dengan baik oleh para bawahannya? Sudah sejauh mana praktik-praktik istimewa diterapkan di birokrasi yang akan menjadi role model  masyarakatnya?

Membicarakan Jogja adalah memperbincangkan manusia. Ketika Jogja mengandalkan pariwisata, kebudayaan, dan pendidikan sebagai tiga sektor penopang perekonomian, semuanya bertumpu pada manusianya.

Ketika mendiskusikan manusia, dua hal yang menjadi pengaruh terbesar adalah ruang dan waktu. Namun sayangnya, orientasi pembangunan di Jogja bukan menempatkan manusianya sebagai subjek utama menghadapi dua faktor tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun