Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menjelajah Sejarah dan Budaya dengan Tour de Masjid Pathok Negara

8 Juli 2016   23:59 Diperbarui: 9 Juli 2016   11:58 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Pathok Negara, masjid di bawah naungan Kraton Ngayogyakarta yang menyimpan nilai-nilai sejarah dan budaya (dok. pribadi)

Di bagian halaman depan masjid, terdapat pohon sawo kecik yang burumur ratusan tahun. Pohon ini memiliki filosofi tersendiri, yaitu agar setiap muslim memiliki sifat sarwo bejik (serba baik) dalam berbagai hal.

Yang menarik di Masjid Plosokuning adalah tetap dijalankannya dua kali adzan menjelang khatib menyampaikan khotbah menjelang sholat Jumat. Dulunya adzan pertama dilakukan oleh lima orang dan adzan kedua dilakukan oleh satu orang. Namun pada tahun 1960-an tradisi tersebut berubah, adzan pertama dilakukan oleh dua orang. Meskipun demikian, adzan tetap dilakukan dua kali.

Masjid Plosokuning tampak dari samping (dok. pribadi)
Masjid Plosokuning tampak dari samping (dok. pribadi)
Serambi Masjid Plosokuning (dok. pribadi)
Serambi Masjid Plosokuning (dok. pribadi)
  • Masjid Mlangi

Masjid Mlangi adalah masjid terakhir yang saya kunjungi saat tour de Masjid Pathok Negara saya lakukan. Jaraknya sekitar 13 km atau 27 menit berkendara dari Masjid Plosokuning. Masjid yang didirikan oleh Kyai Nuriman pada tahun 1758 ini terletak di Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.

Koneksi cepat 4G membuat rute menuju Masjid Mlangi dari Masjid Plosokuning segera diketahui (googlemaps)
Koneksi cepat 4G membuat rute menuju Masjid Mlangi dari Masjid Plosokuning segera diketahui (googlemaps)
Saat pertama kali menginjakkan kaki di gapura yang menjadi pintu gerbang komplek masjid Mlangi, saya terpukau dengan keberadaan masjid yang lebih rendah dibanding tanah di sekitarnya.  Posisi ini membuat sudut untuk pengambilan gambar masjid menjadi lebih artistik.

Masjid ini didirikan oleh Kyai Nur Iman, putra sulung Susuhunan Amangkurat IV. Nama asli Kyai Nuriman adalah Raden Mas Sandiyo. Kyai Nuriman adalah seorang bangsawan Kraton yang lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama dibanding berebut kuasa. Saat adiknya, Sultan Hamengkubuwana I menjadi Raja Kraton Ngayogyakarta, Kyai Nuriman menolak ketika ditawari untuk duduk di singgasana. 

Beliau justru memilih hidup di luar benteng kraton dan berdakwah. Sebagai hadiah, Kyai Nuriman diberi tanah perdikan saat Sultan Hamengkubuwana I naik tahta pada tahun 1776. Tanah perdikan ini kemudian dijadikan pusat pengembangan ajaran Islam dengan mulangi (mengajarkan pengetahuan) kepada masyarakat. Dari kata mulangi itulah daerah dan masjid yang dikembangkan oleh Kyai Nuriman dinamakan Mlangi.

Masjid Mlangi dilihat dari gapura bagian depan (dok. pribadi)
Masjid Mlangi dilihat dari gapura bagian depan (dok. pribadi)
Masjid Mlangi telah banyak mengalami perubahan sampai dengan renovasi terakhir yang dilakukan pada tahun 2012. Meskipun demikian, arsitektur masjid tampak diupayakan agar sesuai dengan keasliannya.

Seperti pada mimbar masjid yang masih menggunakan model tangga dan ditutup kain mori (kafan), menyerupai mimbar-mimbar di masjid zaman Kerajaan Mataram Islam tempo dulu. Ruang utama Masjid Mlangi masih berbentuk limasan dengan empat tiang penyangga utama di bagian tengahnya. Di bagian depan masjid juga masih dipertahankan blumbang (kolam ikan) dan pada beberapa bagian dibuat lebih dangkal seperti di Masjid Plosokuning.  

Bagian dalam Masjid Mlangi berupa limasan dengan empat tiang penyangga utama (dok. pribadi)
Bagian dalam Masjid Mlangi berupa limasan dengan empat tiang penyangga utama (dok. pribadi)
Dari penjelajahan ini, ada beberapa hal yang identik ditemukan di semua lokasi masjid pathok negara. Pertama, masjid-masjid tersebut dikelola oleh sekelompok orang abdi dalem pamethakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kedua, lokasi masjid pathok negara adalah daerah mutihan (berasal dari kata ‘putih’, warna pakaian yang biasa dikenakan oleh para santri dan kyai) dan bersifat perdikan (bebas pajak).

Ketiga, di sekitar masjid biasanya terdapat pusat pengembangan ajaran Islam baik berupa pesantren maupun sistem pendidikan agama Islam lainnya. Keempat, secara arsitektur bangunan masjid pathok negara menyerupai Masjid Gedhe Kauman dengan mustaka masjid berupa gada dikelilingi ornamen daun kluwih, ruang utama yang berbentuk limasan, terdapat makam keluarga pendiri masjid/tokoh agama di belakang/di samping masjid, hingga terpasangnya logo Kraton Ngayogyakarta di bagian depan kuncung teras masjid. Terakhir, saya juga menemukan bahwa masjid-masjid pathok negara masih menggunakan lampu gantung model klasik yang digunakan sebagai alat penerangan sekaligus hiasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun