Di tengah gemuruh tantangan ekonomi yang belum benar-benar reda, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada situasi yang tak mudah. Harga kebutuhan pokok melonjak, daya beli menurun, dan ketidakpastian global menghantui hampir semua sektor kehidupan. Dari pasar tradisional hingga ruang-ruang diskusi ekonomi nasional, keresahan kian terasa. Di sela suasana yang mengambang ini, pemerintah mengumumkan paket stimulus ekonomi terbaru, sebuah kebijakan yang diklaim mampu menjadi penopang bagi roda perekonomian yang terus bergulir, meski tertatih.
Namun, muncul pertanyaan yang menggelitik benak banyak orang: Apakah ini sekadar respons instan terhadap krisis yang datang silih berganti, atau ada strategi besar di baliknya? Apakah stimulus ini memiliki arah dan kesinambungan, atau hanya sekadar upaya memadamkan api dengan air seadanya?
Stimulus ekonomi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Kita pernah menyaksikannya saat krisis moneter 1998 yang mengguncang sendi-sendi ekonomi nasional. Begitu pula ketika pandemi COVID-19 melanda, pemerintah merespons dengan kebijakan stimulus dalam berbagai bentuk: mulai dari bantuan sosial tunai, relaksasi kredit, insentif pajak, hingga subsidi bagi pelaku usaha mikro. Saat itu, stimulus menjadi penyelamat bagi jutaan warga yang tiba-tiba kehilangan penghasilan dan mengalami penurunan kualitas hidup drastis.
Kini, di tengah kondisi pasca-pandemi yang belum sepenuhnya pulih, dan tekanan eksternal seperti konflik geopolitik serta perlambatan ekonomi global, paket stimulus kembali digelontorkan. Pemerintah menyebutnya sebagai bagian dari "strategi pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan." Fokus kebijakan ini terbagi ke beberapa sektor utama: bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat rentan, insentif pajak untuk pelaku usaha, subsidi energi, serta pembiayaan lunak untuk UMKM. Pemerintah juga menekankan bahwa sebagian stimulus diarahkan pada program ekonomi hijau dan transformasi digital, terutama bagi UMKM yang mulai merambah ekosistem daring.
Namun demikian, publik tetap mempertanyakan arah dari kebijakan ini. Apakah benar stimulus ini merupakan bagian dari desain besar pembangunan ekonomi yang lebih tahan guncangan, atau hanya solusi jangka pendek untuk meredam kegelisahan rakyat? Apakah dana-dana tersebut benar-benar ditanam di lahan subur pertumbuhan, atau malah berisiko menjadi 'gula-gula politik' menjelang tahun-tahun politik?
Beberapa pengamat ekonomi, seperti dari lembaga INDEF, menyuarakan kekhawatiran serupa. Tanpa roadmap yang jelas, tanpa evaluasi efektivitas bantuan sebelumnya, stimulus bisa kehilangan daya dorongnya. Pemerintah diminta tidak hanya fokus pada angka realisasi anggaran, tetapi juga dampak konkret di lapangan: apakah daya beli benar-benar pulih? Apakah UMKM bisa bertahan dan tumbuh? Apakah ketimpangan ekonomi bisa ditekan?
Realitas di lapangan seringkali tak seindah narasi resmi. Rina, pedagang sayur di Pasar Minggu, menyampaikan keluhannya, "Katanya ada bantuan modal, tapi prosesnya rumit dan enggak transparan. Banyak yang enggak tahu caranya daftar." Hal senada disampaikan oleh banyak pelaku sektor informal yang hingga kini belum pernah tersentuh bantuan, meskipun mereka terdampak langsung oleh kenaikan harga dan penurunan permintaan.
Permasalahan klasik seperti birokrasi berbelit, kurangnya koordinasi antarinstansi, tumpang tindih data penerima bantuan, serta rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat bawah, masih menjadi batu sandungan dalam realisasi kebijakan. Dalam banyak kasus, bantuan tersendat bukan karena anggaran kurang, tetapi karena distribusinya tidak efisien dan informasinya tidak menjangkau yang berhak.
Meski begitu, stimulus ekonomi tetap memiliki urgensi tersendiri. Dalam situasi penuh tekanan seperti saat ini, intervensi negara sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Namun, rakyat berharap lebih dari sekadar respons sesaat. Mereka menginginkan strategi yang utuh, terukur, dan berjangka panjang. Stimulus yang baik bukan hanya menyelamatkan hari ini, tapi juga menyiapkan fondasi untuk masa depan yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Pemerintah dituntut untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang digelontorkan bukan sekadar menguap dalam laporan keuangan atau dokumen kebijakan, tapi benar-benar menyentuh tangan mereka yang paling membutuhkan. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik menjadi kunci agar stimulus benar-benar berdampak.