Mohon tunggu...
Nur Arifin
Nur Arifin Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Awardee Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas Linkage MEP UGM - GSICS Kobe Univeristy. ASN di Badan Pusat Statistik.

Selanjutnya

Tutup

Money

Menakar Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah di Ranah Minang

12 November 2018   23:25 Diperbarui: 21 Januari 2019   18:37 1711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Setiap daerah umumnya mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Angka pertumbuhan ekonomi seringkali dijadikan patokan seberapa maju dan berkembangnya suatu daerah. 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya diiringi dengan pemerataan pembangunan. Namun, fenomena yang sering terjadi adalah suatu daerah yang maju akan terus berkembang pesat sementara daerah lain yang tertinggal akan semakin tertinggal dan ditinggalkan. Fenomena seperti inilah yang membuat ketimpangan pembangunan antar daerah dapat semakin parah.

Sebenarnya ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan sebuah keniscayaan dalam proses pembangunan. Menurut Sjafrizal (2014) hal yang memicu terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah antara lain: perbedaan potensi daerah yang sangat besar, perbedaan kondisi demografis dan ketenagakerjaan, dan perbedaan kondisi sodial budaya antar wilayah serta kurang lancarnya mobilitas barang dan orang antar daerah.

Untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar daerah, dalam statistika dikenal coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur perbedaan. 

Adalah Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini sehingga muncullah istilah Indeks Williamson yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar daerah. Indeks Williamson bernilai antara 0 hingga 1. Jika nilainya mendekati nol berarti terjadi pemerataan dalam pembangunan. Sebaliknya jika nilainya mendekati 1 maka ketimpangan pembangunan yang terjadi sangat parah.

Sumatera Barat sebagai provinsi yang tengah gencar-gencarnya membangun, pun tidak luput dari masalah ketimpangan pembangunan. Dari hasil penghitungan, selama kurun waktu 2010 hingga 2016, rata-rata indeks Williamson Sumatera Barat sebesar 0,2589. Angka tersebut relatif rendah yang berarti pembangunan di Ranah Minang relatif merata. Namun, jika diperhatikan series-nya, indeks Williamson Sumatera Barat memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. 

Jika tidak diindahkan, indeks Williamson dapat saja menjadi semakin tinggi dengan kata lain, ketimpangan pembangunan semakin melebar. Tentu hal ini tidak diinginkan karena ketimpangan pembangunan antar daerah yang tinggi dapat membawa dampak negatif dari segi ekonomi, sosial dan politik. Dampak negatif yang dimaksud adalah seperti kurang efisiennya penggunaan sumber daya yang tersedia dan mendorong terjadinya ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan (kemakmuran). Dari segi sosial sendiri, ketimpangan pembangunan yang tinggi tersebut dapat menyulut kecumburan dan keresahan sosial.

Jika dibandingkan, indeks Williamson Sumatera Barat memang sangat jauh lebih rendah daripada level nasional. Sebagaimana hasil perhitungan, rata-rata indeks Williamson Indonesia dalam kurun waktu 7 tahun terakhir (2010-2016) adalah sebesar 0,7599. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan yang terjadi pada level nasional sudah sangat parah. 

Salah satu penyebabnya adalah pembangunan infrastruktur yang tidak merata. Misalnya, DKI Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus menjadi pusat bisnis sangat berkembang pesat meninggalkan provinsi-provinsi lain. Sebagai perbandingan, pada tahun 2016, PDRB Perkapita (Produk Domestik Regional Bruto) DKI Jakarta setara dengan 13 kali PDRB Perkapita Nusa Tenggara Timur. PDRB Perkapita menunjukkan nilai PDRB perkepala atau persatu orang penduduk. 

Di Sumatera Barat, PDRB Perkapita tertinggi tahun 2016 adalah Kota Bukittinggi sementara yang terendah adalah Kabupaten Pesisir Selatan. Dimana perbandingannya hanya sekitar 1:3. Tidak terlalu ekstrim seperti level nasional.

Dirunut lebih jauh, pengaruh ibukota provinsi yaitu Kota Padang terhadap ketimpangan pembangunan antar daerah di Sumatera Barat pun tidak begitu signifikan. Penghitungan Indeks Williamson Sumatera Barat 2010-2016 dengan menghilangkan Kota Padang memiliki rata-rata sebesar 0,2208. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun