Mohon tunggu...
Arif Alfi Syahri
Arif Alfi Syahri Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

"Hanya Mahasiswa biasa yang mencoba untuk berkarya." •Jurusan : PAI, STAI-PIQ Sumatera Barat •Instagram : @muhammadarifalfisyahri •Email : arifalfisyahri94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membedah Wajah Pendidikan Indonesia

27 Oktober 2022   09:43 Diperbarui: 27 Oktober 2022   15:13 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Dok. STAI-PIQ

Pada 1 Juni 1945, Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) telah sampai pada hari terakhir dari rapat pertamanya. Pada saat itu, Presiden Soekarno memberikan sebuah pernyataan yang sangat menarik. 

Soekarno mengatakan "Bahwa kemerdekaan atau "Political Independence" ialah satu jembatan emas. Dan di seberang jembatan itulah kita akan menyempurnakan masyarakat kita."

Pada dasarnya, bila bangsa Indonesia ingin sejahtera, maka bangsa Indonesia harus merdeka dulu. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh tokoh nasional Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Madilog.

Guru sekaligus tokoh revolusioner ini berkata "Kini setelah 75 tahun Indonesia merdeka, apakah kita sudah menggunakan jembatan emas ini dengan benar? Apakah ilmu-ilmu dari alam sudah bebas dari berlenggunya. Bagaimanakah nasib Indonesia? Khususnya, dalam pendidikan?"

Berdasarkan data World Bank, mengenai "Net Enrollment Rate" Indonesia, partisipasi pendidikan di Indonesia bisa dikatakan sangat tinggi. Meskipun demikian, Indonesia juga menempati peringkat yang sangat rendah dalam hal membaca, matematika dan Sains. Bahkan, dalam keadilan gender pun kita tidak terlalu baik. 

Pendidikan di Indonesia memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Kita tidak bisa membahas semuanya dalam tulisan singkat ini. Namun, pemikiran akan pendidikan yang ideal memang sudah dirancang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.

Tan Malaka mengganggap pendidikan adalah sebagai alat untuk bertahan hidup, sejahtera dan membantu kaum jelata. Idealnya, pendidikan harus membuat masyarakat mampu menghadapi kenyataan dengan berpikir secara logis dan tidak mengandalkan hal-hal mistis seperti ritual sesat dan perdukunan.

Ilmu alam dan matematika memang harus dikuasai. Namun, tentu tidak semua anak memiliki kompetensi yang sama. Di sinilah Ki Hajar Dewantara dengan sistem pendidikan "Among" hadir. 

Sistem ini, mengedepankan unsur-unsur pembelajaran, keterampilan, dan nilai-nilai tradisional yang mengasah keterampilan yang diminati sang anak. Masing-masing anak tidak diwajibkan untuk memahami dan mendalami seluruh mata pelajaran. Sedangkan Kartini yang merupakan tokoh emansipasi perempuan memiliki semangat bahwa pendidikan harus bisa didapatkan secara setara oleh kaum pria maupun wanita. 

Lalu, mengapa impian dan idealisme dari ketiga tokoh ini masih terhambat? Ada banyak faktor, pada masa mempertahankan kemerdekaan, Indonesia masih kekurangan guru yang kompeten, stabilitas Indonesia sudah terancam oleh perpecahan dan Perang Dingin yang berkecamuk. 

Pemerintah belum sempat mencetak guru-guru berkualitas, kalaupun ada, banyak yang memilih bergabung dengan angkatan bersenjata untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. 

Dalam situasi ini, kuantitas guru lebih diprioritaskan dari pada kualitas. Tujuan guru dan pendidikan pun lebih diarahkan ke menanamkan patriotisme dan nasionalisme. 

Sehingga, pengembangan sains, seperti yang diimpikan Tan Malaka pun, masih harus menunggu. Pada era ini, intervensi pemerintah pusat terhadap pendidikan yang kuat tidak serta-merta hilang begitu saja, justru mengalami peningkatan. 

Lebih parahnya lagi, semua guru PNS harus mendukung haluan partai politik tertentu dan sesuai dengan kebijakan negara. Karena fokus pendidikan diarahkan ke pembangunan negara, sehingga tidak terlalu membuka ruang bagi niat kesenian dan ilmu sosial. Siswa-siswi pun diharapkan mempelajari dan menguasai semua hal, walaupun tidak diminati. 

Hingga saat ini, Indonesia masih belum memiliki formula yang tepat dalam membangun pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, seperti guru yang tidak kompeten, rendahnya tingkat literasi, kebijakan yang kerap berubah, bahkan situasi politik juga berpengaruh terhadap jalannya pendidikan di Indonesia.

Pendidikan memerlukan guru yang berkualitas. Namun di Indonesia, hal ini masih jauh dari kenyataan. Berdasarkan data Kemendikbud, rata-rata hasil dari uji kompetensi guru di Indonesia masih tidak jauh dari angka 50 (dari 100). 

Tentu ini tidak sepenuhnya salah guru itu sendiri. Ada banyak permasalahan seperti insentif menjadi guru berkualitas yang masih kurang dan berbagai faktor lainnya. Pemerintahan harus turut segera meningkatkan kinerja guru. Jika tidak, bagaimana mungkin siswa dituntut untuk menjadi lebih baik?

Guru juga merupakan sosok yang paling penting dalam membangun suatu bangsa menjadi lebih maju. Bahkan, di dalam sejarah, saat kota Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh sekutu pada perang dunia ke-2 tahun 1945 yang membuat negara Jepang porak-poranda baik secara ekonomi, sosial maupun politik. 

Namun Kaisar Hirohito yang memimpin Jepang saat itu justru menanyakan "Berapa jumlah guru yang tersisa?" karena menurutnya kekalahan Jepang disebabkan karena mereka tidak belajar. Kehadiran guru pada masa itu merupakan hal yang sangat krusial bagi seluruh masyarakat Jepang, sehingga saat ini Jepang menjadi negara maju dan berhasil bangkit dari keterpurukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun