Mohon tunggu...
Filsafat

Nusantara, Kebenaran yang Tak Terlihat

31 Agustus 2018   14:08 Diperbarui: 31 Agustus 2018   14:11 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kitab tafsir huruf Arab gundul yang berisi cerita wayang sebagai media dakwah Wali Songo [Dok. JS Nawati]

Siapa yang salah atas kacaunya Negeri ini? dan siapa pula yang benar? Dipikir bibit ditanam langsung berbuah, sehingga kita bisa langsung memastikan banyak hal terhadapnya. Pernahkah berpikir jika kekacauan yang terjadi saat ini adalah buah yang bibitnya telah di tanam 500 tahun yang lalu?

Kelemahan manusia adalah gampang tertipu oleh ke 5 indranya. Padahal amat banyak kebenaran yang sengaja menghindar dari ke 5 indra manusia. Kebenaran yang hanya bisa dijamah oleh kusirnya, yakni akal sehat dan hati suci.

Coba saja lihat rel kereta api, kita berdiri di tengahnya lalu melihat secara vertikal. Maka dalam indra penglihatan akan nampak rel kereta itu menyatu di kejauhan. Tapi akal sehat mengatakan "tidak, itu hanya bias yang dipengaruhi oleh jarak, rel itu tidak menyatu".
Lalu mengapa banyak orang masih lugu percaya 100% (iman) dengan apa yang mereka lihat. Dianggapnya air benar-benar bisa membasahi tubuhnya, dianggapnya koruptor urusan polisi sedang maling urusan digebukin masa, dianggapnya yang hidup di tanah Indonesia hanya kita saja, tidak tahu bahwa ada devisi khusus yang job description nya adalah mengendalikan letusan gunung, dan sebagainya. Ya karena itu tadi, kebenaran yang sengaja menjauh dari indra manusia.

Sudahkah kita mengkaji lebih dalam sebuah kalimat "Tuhan tidak terikat waktu"?

Bahkan bisa saja Adam baru tercipta saat ini, atau buku langit ditulis saat ini, bersamaan dengan perbuatan kita, sehingga muncul ungkapan bahwa taqdir sebenarnya ada di tangan kita. Ketidakterikatan Tuhan terhadap waktu membuat Ia sangat pantas menyandang gelar Yang Maha Mengetahui. Tahu yang dulu, yang sekarang, dan yang akan datang.

Wa laa yuhiituunaa bi syai'in min ilmihi illa bi maa syaa'. Sempatkah kita berpikir karena Tuhan ingin bermesraan dengan makhluknya lalu Ia pilih beberapa manusia terbaik di masanya untuk mencicipi sedikit informasi beyond the time? Maka jangan heran jika benar-benar ada manusia yang bisa mengetahui sesuatu yang tidak ada di masa dia hidup. Dan pengantar panjang di atas, harusnya sanggup membuat kita minimal meragukan hal yang sebelumnya diabaikan ini.

Mungkin Prabu Siliwangi adalah salah satu manusia pilihan Tuhan seperti apa yang telah dijelaskan di atas. 600 tahun yang lalu ia menulis sebuah naskah yang menceritakan tentang apa yang akan terjadi di tanah Nusantara, dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Sepenggal kisahnya mengatakan:

Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawulakuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: tarate hepe sawereh, kembang kapas hapa buahna, buah pare loba nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul janji; nu palinter loba teung, ngan pinterna kablinger.

"Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti: bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang berjanjinya banyak yang tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger."

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorn kanron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, nglingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dk ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditwak diasupkeun ka pangbrokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun nangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engk arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bul. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun