Mohon tunggu...
Aries Heru Prasetyo
Aries Heru Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi bidang Crisis Management

Aries Heru Prasetyo, MM, Ph.D menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Fu Jen Catholic University, Taiwan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Lobster yang menggigit Pak (Eks-) Menteri

26 November 2020   10:57 Diperbarui: 26 November 2020   17:40 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Satu berita yang cukup menggetarkan panggung politik beberapa Hari Ini adalah OTT yang dilakukan Oleh KPK. Kali ini OTT menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan (yang telah mengundurkan diri sejak kasus mencuat) yang diduga terkait benih lobster. Di tangan Bapak (Eks-) Menteri, keputusan untuk ekspor benih lobster (dengan runutan syarat tertentu) kembali dibuka. Keputusan ini sekaligus menghapus keputusan Menteri sebelumnya yang diterbitkan di tahun 2016. Kala itu Ibu Susi berhasil mengetatkan aturan terkait ekspor benih untuk kepentingan budi daya. Alasannya pun cukup kuat yaitu untuk menjadikan lobster sebagai komoditas unggulan Indonesia.

Seperti diketahui bersama, lobster termasuk komoditas yang paling digemari di sejumlah Negara. Melansir data-data statistik, sejar kran ekspor dibuka Oleh Pak Menteri, antara bulan Juni sampai Juli telah terjadi lonjakan Nilai eskpor sebesar 1.389Kg. Selanjutnya di bulan Agustus 2020, Nilai ekspor kembali melonjak di angka 4.207Kg ke Vietnam. Bahkan untuk tujuan ekspor ke Hongkong di bulan September, terdapat 19,43 Kg benih yang diekspor dengan estimasi nilai 60,35 juta USD. Tingginya animo masyarakat international akan lobster telah membuat upaya budidaya di sejumlah negara meningkat drastis. Alhasil dengan bekal aturan terbaru tersebut maka eksportir berpeluang untuk mengirim benih lobster ke luar negeri.

Bak oase di Tengah gurun, tak salah jika peluang ini dimanfaatkan  secara optimal oleh para pemain yang ada. Logika ekonomi seakan mengalir cepat. Meskipun sepintas terlihat seperti sebuah upaya untuk meningkatkan daya saing nasional namun ada aspek lain yang terkesan luput dari perhatian.

Dalam teori daya saing, terdapat dua sub teori. Pertama adalah comparative advantage, yaitu sebuah daya saing yang munculnya dari kelebihan sumber daya produksi yang Kita miliki. Di sinilah polisi benih lobster itu idealnya harus ditempatkan. Benih merupakan daya saing komparatif yang seharusnya menjadikan Indonesia mampu menjadi pemimpin pasar di Dunia internasional. Sebab bila salah kelola, maka daya saing komparatif ini dapat dikalahkan Oleh daya saing kompetitif. Ini merupakan sub teori kedua dan sering disebut dengan competitive advantage.  Artinya, ketika pemain global mampu memberikan nilai tambah dalam proses budi daya lanjutan dari benih yang diimpornya dari Tanah air maka besar kemungkinan Hasil budi daya meraka akan kembali tiba di sumi Pertiwi dengan harga yang premium. Jika itu terjadi, apakah Indonesia data dikatakan menang di pasar?

Sejarah menunjukkan bahwa sejumlah komoditi dari bumi Nusantara ternyata bernasib sama. Pada saat komoditas masih berbentuk bahan baku maka japat dikatakan bahwa posisi kita adalah eksportir utama. Namun sayangnya, ketika negara lain berhasil mengolah bahan baku itu menjadi produkter jadi dalam Nilai premium, kembali negara kita menjadi importer utamanya. Apakah mekanisme ini yang akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh Masyarakat Indonesia?

Cukup sulit logika saya untuk mengatakan ya atau sepakat dengan cara pandang tersebut. Yang ada malah sebaliknya, hasil ekspor kita tak kan pernah sebanding dengan harga impor yang harus ditanggung oleh masyarakat. Kuncinya satu, karena kita hanya fokus pada bahan baku dan bukan barang jadi. Bila dibiarkan berlarut maka eskploitasi ini akan menjadi siklus yang melemahkan daya siang kita.

Di sisi lain, saya juga mencermati opini yang diajukan Oleh sejumlah angora Dewan. Sebagian besar dari beliau mengungkapkan bahwa pada kapasitas yang dimilikinya sebagai anggota Dewan, mereka telah dengan konsisten mengingatkan perihal tersebut kepada Pak Menteri. Namun anehnya, mengapa keputusan tetap dijalankan? Sebagai perwakilan dari Rakyat, sudah seharusnya Dewan berteriak ketika suaranya tak lagi didengarkan Oleh Kementrian. Bila berteriakpun masih tak didengar, maka kiranya terdapat cara lain yang masih dalam koridor kesantunan untuk mengungkapkan semangat membela nasib Bangsa Baik di masa kini maupun di masa Depan!

Lalu bagaimana kita seharusnya memandang fenomena penangkapan Pak Menteri? Apakah ini merupakan sebuah kesalahan pribadi atau kesalahan dari sebuah sistim?

Pada posisi itu saya hampir terdorong untuk melihat dari sisi konstalasi politik menjelang 2024. Tapi nurani saya membatasi alur analisa dengan dali belum lengkapnya data-data yang ada. Logika ekonomi Bangsa di masa Depan seakan lebih mendominasi pergulatan pemikiran saya.

Pagi tadi, saya membaca bahwa Sekretaris Negara telah menginformasikan Bahwa Pak Menko untuk sementara mengambil alih kekosongan posisi Menteri Kelautan dan  Perikanan. Langkah inilah yang harus terus dikawal, agar posisi vital tak lagi jatuh ke tangan yang malah menciptakan risiko di masa depan. Pemerintah perlu mengkaji ulang keputusan tersebut demi kepentingan lain yang lebih besar. Artinya, ketika putusan ditentukan tetap dilanjutkan maka sebagai warga negara yang baik sayapun akan mengarahkan nurani untuk mengamini bahwa terdapat agenda lain yang lebih besar, yang berujung pada penciptaan kemakmuran yang berkeadilan sosial.

SEMOGA!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun