Mohon tunggu...
Ariel Hosea
Ariel Hosea Mohon Tunggu... Mahasiswa

20 y.o | mahasiswa s1 sistem informasi ( semester 6 ) di STIKOM Yos Sudarso Purwokerto | gen z yang menulis | awalnya karena coba-coba lalu jadi hobby | lewat tulisan, saya ingin berbagi | lewat tulisan, saya ingin tumbuh

Selanjutnya

Tutup

Diary

Silent Observer: Perjuangan Beradaptasi di Lingkungan Baru

28 Maret 2025   17:33 Diperbarui: 28 Maret 2025   17:33 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru | Sumber: Freepik.com

"Setiap orang punya waktunya sendiri untuk merasa nyaman di tempat baru. Yang penting, jangan berhenti mencoba."

Pindah ke lingkungan baru selalu menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi mereka yang tidak mudah berbicara atau langsung membaur.

Saya mengalami ini saat pindah sekolah di kelas 2 SMA, di tengah pandemi COVID-19 yang membuat segalanya semakin sulit. Sekolah daring membuat saya hampir tidak punya kesempatan untuk benar-benar mengenal teman-teman baru.

Ketika akhirnya bisa bertatap muka di kelas 3, saya merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya menjadi bagian dari keseharian saya.

Sering kali, saya hanya duduk diam di kelas atau mengamati teman-teman yang asyik mengobrol saat jam istirahat. Saya ingin ikut serta, ingin bisa merasa nyaman seperti mereka, tapi rasanya selalu ada tembok tak kasat mata yang membatasi.

Saya lebih memilih menjadi "silent observer", sekadar memperhatikan tanpa ikut terlibat.

Tapi mengapa saya begitu sulit memulai interaksi? Apa yang sebenarnya menahan saya? Dan bagaimana akhirnya saya bisa mulai berbicara meski di detik-detik terakhir sebelum kelulusan?

Dari Overthinking ke Percakapan Pertama: Perjalanan Berani Beradaptasi

Saya sering merasa ragu untuk berbicara karena overthinking. Setiap kali ingin memulai obrolan, pikiran saya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk.

Saya takut terdengar aneh, takut kalau mereka tidak tertarik dengan topik yang saya bawa, atau bahkan khawatir jika salah bicara mereka akan tersinggung. Pikiran-pikiran ini membuat saya memilih diam dan tetap di zona aman sebagai pengamat.

Selain itu, saya juga terbiasa menjadi pengamat sejak lama. Saya lebih suka memperhatikan suasana sebelum memutuskan apakah bisa masuk ke dalamnya.

Sayangnya, kebiasaan ini justru membuat saya semakin jauh dari interaksi sosial. Saat jam istirahat, saya hanya duduk diam, melihat teman-teman bercanda seolah mereka sudah berteman bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun