"Setiap orang punya waktunya sendiri untuk merasa nyaman di tempat baru. Yang penting, jangan berhenti mencoba."
Pindah ke lingkungan baru selalu menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi mereka yang tidak mudah berbicara atau langsung membaur.
Saya mengalami ini saat pindah sekolah di kelas 2 SMA, di tengah pandemi COVID-19 yang membuat segalanya semakin sulit. Sekolah daring membuat saya hampir tidak punya kesempatan untuk benar-benar mengenal teman-teman baru.
Ketika akhirnya bisa bertatap muka di kelas 3, saya merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya menjadi bagian dari keseharian saya.
Sering kali, saya hanya duduk diam di kelas atau mengamati teman-teman yang asyik mengobrol saat jam istirahat. Saya ingin ikut serta, ingin bisa merasa nyaman seperti mereka, tapi rasanya selalu ada tembok tak kasat mata yang membatasi.
Saya lebih memilih menjadi "silent observer", sekadar memperhatikan tanpa ikut terlibat.
Tapi mengapa saya begitu sulit memulai interaksi? Apa yang sebenarnya menahan saya? Dan bagaimana akhirnya saya bisa mulai berbicara meski di detik-detik terakhir sebelum kelulusan?
Dari Overthinking ke Percakapan Pertama: Perjalanan Berani Beradaptasi
Saya sering merasa ragu untuk berbicara karena overthinking. Setiap kali ingin memulai obrolan, pikiran saya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk.
Saya takut terdengar aneh, takut kalau mereka tidak tertarik dengan topik yang saya bawa, atau bahkan khawatir jika salah bicara mereka akan tersinggung. Pikiran-pikiran ini membuat saya memilih diam dan tetap di zona aman sebagai pengamat.
Selain itu, saya juga terbiasa menjadi pengamat sejak lama. Saya lebih suka memperhatikan suasana sebelum memutuskan apakah bisa masuk ke dalamnya.
Sayangnya, kebiasaan ini justru membuat saya semakin jauh dari interaksi sosial. Saat jam istirahat, saya hanya duduk diam, melihat teman-teman bercanda seolah mereka sudah berteman bertahun-tahun.