Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Virus" Politik Tunisia dan Mesir Ada di Sekitar Kita

26 Februari 2011   15:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:15 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kabar adanya rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi khusus kendaraan roda empat pada April tahun ini sudah santer dibicarakan. Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa sering mengungkapkan rencana pemerintah ini sejak akhir tahun lalu. Namun, rencana ini akhirnya mengalami penundaan dengan alasan harga minyak dunia yang melambung dan ketidakmatangan persiapan. Benarkah demikian adanya?

Kenaikan harga BBM yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono sering terjadi. Kenaikan tertinggi terjadi pada 2005 silam yang hampir mendekati 100% dari harga sebelumnya. Pada 2008 lalu juga mengalami kenaikan pula. Kenaikan ini menyebabkan “kegoncangan” politik dengan disetujuinya angket kenaikan harga BBM oleh DPR meski sampai sekarang entah bagaimana hasilnya. Namun, kenaikan tersebut tak bertahan lama karena tak berselang lama terjadi penurunan seiring fluktuasi harga minya dunia.

Jika kita coba menyelami berbagai kenaikan sejak 2004, suatu pola tertentu bisa amati. Demonstrasi oleh masyarakat luas, tekanan politik dari oposisi, maupun kritik dari para intelektual serta jeritan rakyat seolah tak dihiraukan. Pemerintah tetap pada pendiriannya untuk menaikkan harga BBM tanpa melalui meski sejumlah alternatif kebijakan energi ditawarkan banyak kalangan. Oleh karena itu, ada keganjilan tersendiri terhadap penundanaan rencana pembatasan BBM bersubsidi ini. Alasan kesejahteraan rakyat jauh dari sebagai penyebab penundaan kebijakan ini dengan melihat pengalaman sebelumnya.

Faktor internal bukan lah penyebab penundaan ini seperti yang dikatakan Mensesneg tersebut. Melihat konfigurasi politik domestik dan internasional, gejolak politik di Timur-Tengah lah yang sesungguhnya jadi latar mengapa harus ditunda. Konfigurasi politik domestik yang cenderung tak menguntungkan bagi pemerintah sekarang sangat riskan untuk digulingkan. Ketidakberesan penyelesaian kasus hukum yang menggugah rasa keadilan maupun gesekan pada elit politik menyebabkan pemerintah semakin lemah. Apalagi popularitas Presiden terjun bebas dibandingkan saat dilantik 2009 lalu.

Virus politik dari Timur-Tengah juga jadi faktor penentu mengapa kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini ditunda. Gelombang gerkan rakyat yang berawal dari Tunisia terbukti telah memporak-porandakan kekuasaan beberapa rezim di Timur-Tengah. Mesir sudah berhasil menggulingkan rezim Mubarak. Saat ini, apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir juga sedang melanda beberapa negara, antara lain: Yaman, Bahrain, dan Libya. Bahkan , Libya dalam hal ini sedang mengalami gejolak dahsyat, menuntut Moammar Khadaffi turun dari kekuasaan.

Inilah wajah dunia yang sedang berlari. Bentuk nyata penjarakan ruang dan waktu seperti yang diutarakan sosiolog Inggris, Anthony Giddens, sedang terjadi. Apa yang terjadi di lokal tertentu bisa mempengaruhi seluruh dunia, juga berlaku sebaliknya. Gerakan rakyat di Timur-Tengah bukannya mustahil terjadi di mana pun juga, termasuk Indonesia. Kemajuan teknologi informasi membuat batas negara jadi kabur sehingga gerakan tersebut bisa jadi inspiirasi tersendiri di belahan bumi lainnya bila suatu penguasa dinilai tak berpihak pada rakyat.

Apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan sekarang sedang berproses di Libya, sesungguhnya jadi alasan utama mengapa pembatasan BBM bersubsidi ditunda. Pemerintah dalam hal ini tentu saja tak ingin nasibnya sama dengan Ben Ali dan Mubarak. Dirobohkan singgasana kekuasaannya melalui gerakan rakyat yang dramatis dan dapat simpati seluruh dunia. Presiden Yudhoyono dalam hal ini tak akan gegabah dan membiarkan virus politik Timur-Tengah tersebut menjangkiti masyarakat. Ditambah lagi pengalaman Presiden Sukarno dan Suharto. Keduanya diturunkan melalui demonstrasi sebagai dampak tekanan ekonomi yang dialami rakyat saat itu.

Konfigurasi poliitik domestik yang tak berpihak penguasa dan virus politik Timur-Tengah jadi alasan kuat karena sejumlah alternatif kebijakan tak ditempuh pemerintah. Salah satunya yakni soal penundaan pembayaran utang luar negeri. Sebagai gambaran, APBN setiap tahunnya harus menyediakan dana 65-70 triliun rupiah guna membayar utang terkait BLBI/KLBI hingga 2033. Padahal utang ini hanya dinikmati segelintir orang dan pembayarannya tak jelas tapi pemerintah enggan menunda/mengemplangnya.

Dari paparan di atas, sangat tak masuk akal bila apa yang terjadi di Timur-Tengah dinilah tak berpengaruh secara signifikan. Ketakutan akan diturunkannya Presiden SBY seperti di Tunisia dan Mesir bila pembatasan BBM bersubsidi dilakukan sesuai jadwal jadi alasan kuat penundaannya. Sejatinya kita sedang dibayangi Ben Ali dan Mubarak, sangat naif bila mengabaikannya. Kebijakan penundaan pasti tak diambil bila tidak ada virus politik Timur-Tengah mengingat corak kebijakan Presiden SBY terkait harga BBM yang cenderung pro-pasar. Kita tunggu saja kelanjutannya....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun