Mohon tunggu...
Arief Nur Rohman
Arief Nur Rohman Mohon Tunggu... Guru - Manusia

Pegiat Moderasi Beragama Provinsi Jawa Barat. Menaruh minat pada Pendidikan, Pengembangan Literasi, Sosial, Kebudayaan, dan Pemikiran KeIslaman.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsepsi Wahyu: Sebuah Pergumulan

29 April 2021   22:07 Diperbarui: 29 April 2021   22:17 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembacaan Teks (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Konsepsi wahyu yang dilakukan oleh para ulama telah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Para sarjana muslim awal, memahami wahyu Al Quran sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Jibril. Dalam hal ini, terdapat penekanan di kalangan para ulama, yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersifat "pasif" dalam menerima wahyu. 

Nabi tidak mempunyai peran, karena wahyu dalam pemahaman tradisional adalah sesuatu yang sangat eksternal dan berada di luar jangkauan Nabi Muhamaad, sehingga beliau dipersepsikan sebagai seseorang yang menerima wahyu secara pasif. Oleh karena itulah, dalam pemahaman tradisional, AlQuran dianggap sebagai kalam Allah/ perkataan Allah lafaz per lafaz. Bukan hanya makna, akan tetapi juga lafaznya berasal dari Allah.

Pemahaman seperti ini, belakangan mulai dipersoalkan. Karena menganggap Nabi Muhammad sebagai penerima yang pasif bertentangan dengan sebagian ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa, Allah menurunkan Al Quran atau wahyu kedalam hati nabi Muhammad. Jika Al Quran diturunkan dalam hati Nabi Muhammad, maka pastilah Nabi mempunyai peran dalam mengekspresikan kehendak Ilahi. 

Hal inilah sebenarnya yang ditangkap dan dipahami oleh Fazrul Rahman yang berargumen bahwa: "Seratur persen kalam Allah tetapi juga seratur persen kalam Muhammad". Artinya bahwa, Al Quran bersumber dari Ilahi ini tidak bisa dipungkiri. Selain itu, dalam pewahyuannya, Al Quran menggunakan idiom-idiom yang hidup di zamannya yang digunakan secara luas oleh masyarakat Arab adalah juga sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.

Bagaimana jika Al Quran diturunkan di Indonesia? Pastilah al Quran menggunakan idiom dan istilah yang kontekstual di zamannya. Hal ini mendorong Fazrul Rahman untuk mengatakan bahwa, sumber AlQuran adalah kalam Ilahi tetapi Al Quran juga menggunakan idiom kontekstual karena diekspresikan oleh Nabi.

Selain pendekatan yang ditawarkan oleh Fazrul Rahman, banyak juga sarjana modern yang memberikan pemahaman baru dan perspektif berbeda terkait Al Quran. Seperti Abdolkarim Soroush, adalah seorang Syiah dan pemikir Islam reformis yang tinggal di Eropa memberikan pandangan yang berbeda dengan kalangan tradisional. Bagi Soroush, penting untuk berbicara pengalaman kenabian dan pengalaman kewahyuan dalam memahami wahyu.

Para sarjana modern banyak pula yang memberikan tesis yang berbeda. Misalnya, Mahmoud Taha yang mencoba untuk mendekonstruksi pemahaman tradisional dan mengajukan perspektif baru, yang membolak-balikkan argumen klasik bahwa ada ayat-ayat Makkah dan ayat Madinah dan melihat ayat Madinah telah menghapus ayat Makkah. Bagi Taha, yang terjadi sesungguhnya adalah sebaliknya. Justru ayat-ayat Makkah yang bersifat universal dan ayat-ayat Madinah adalah aplikasi dari ayat-ayat universal yang turun di Makkah.

Pemikiran-pemikiran progresif seperti inilah yang perlu perhatian dan didiskusikan bersama agar kita bisa melihat bahwa, kesarjanaan Islam tentang konsepsi wahyu lebih dinamis dibanding yang kita duga.

(Disarikan berdasarkan ceramah Prof. Mun'im Sirry)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun