Mohon tunggu...
Arief Nur Rohman
Arief Nur Rohman Mohon Tunggu... Guru - Manusia

Pegiat Moderasi Beragama Provinsi Jawa Barat. Menaruh minat pada Pendidikan, Pengembangan Literasi, Sosial, Kebudayaan, dan Pemikiran KeIslaman.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Angkringan: Tinjauan Filosofis dan Budaya

24 April 2021   02:41 Diperbarui: 24 April 2021   09:51 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memikir ulang angkringan (Sumber: Arief Nur Rohman)

Angkringan hari ini telah berekspansi ke berbagai sudut-sudut kota di pulau Jawa, dengan hadirnya angkringan sebagai tujuan penjualan,  secara tidak sadar pula masyarakat sekitar berperan sebagai pembeli sekaligus aktor dalam menerima beberapa pola budaya yang dibawa oleh angkringan. Jika kita telusuri bersama, angkringan ini menjadi satu realitas yang tidak terpisahkan dengan kebutuhan manusia, yaitu makan dan makanan. 

Makanan sebagai satu dari sekian banyak penunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia kita maknai keberadaannya tidak sebagai sesuatu yang dikonsumsi kemudian menjadi energi, nutrisi, dan gizi bagi tubuh. Akan tetapi juga sebagai energi, nutrisi, dan gizi bagi satu konsepsi berpikir manusia secara filosofis, mengakar dan integral berdasarkan satu realitas relevansi budayanya.

Potret Angkringan (Sumber: Infobdg.com)
Potret Angkringan (Sumber: Infobdg.com)
Angkringan sebagai realitas budaya, sejatinya kita telusuri mulai dari keberadaannya, pola-pola relevansi budaya, sampai pada tinjauan filosfis praktis yang terkandung di dalamnya. Angkringan ditinjau dari sudut budaya memberikan kepada kita satu nilai hidup yang mesti kita hayati bersama ialah kesederhanaan.

Kesederhanaan hidup, gaya, perilaku, dan sikap kita terhadap semua makhluk di bumi ini. Selain itu, kita menemukan satu hal baru di angkringan ialah ekspansi budaya. Dalam hal ini ekspansi budaya yang dibawa oleh angkringan adalah dengan cara berjualan dari satu kota ke kota lainnya.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba meramu dan menghadirkan kemasan makanan yang dijual di angkringan ditinjau dari cara pandang filosofi dan realitas budaya. Di angkringan kita akan menemukan berbagai makanan, mulai dari sego kucing, berbagai sate, dan beberapa minuman. 

Dalam hal makanan, tentunya tidak serta merta kita nikmati begitu saja sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan, tetapi juga ada satu buah nilai filosofis yang belum kita ketahui keberadaannya. Maka dari itulah saya akan mencoba mengurai beberapa makanan dan minuman yang dijual di angkringan.

Pertama, sego kucing. Sego secara bahasa artinya adalah nasi. Nasi inilah yang menjadi bahan pokok makanan orang Indonesia. Namun mengapa nasi ini bisa disandingkan dengan kucing sehingga penyebutan nya menjadi "sego kucing", padahal sego kucing ini adalah konsumsi manusia bukan konsumsi kucing. 

Berdasarkan informan yang saya temui, pada mulanya penyebutan sego kucing ini diinisiasi oleh beberapa mahasiswa Yogyakarta. 

Penyebutan "sego kucing" ini merupakan bentuk 'protes' mereka sebab yang menjadi porsi dalam sego kucing ini sedikit atau boleh dikatakan porsi ini layak untuk dikonsumsi kucing. Maka dari itulah, penyebutan dari salah satu makanan yang dijual di angkringan ini dengan sego kucing atau nasi kucing sebab porsinya sedikit. Padahal sebelum penyebutan sego kucing yang diinisiasi oleh mahasiswa ini, para pembeli menyebutnya dengan sebutan nasi dan beberapa menu yang dijualnya. Misal nasi oreg tempe, nasi teri, nasi usus.

Jika kita tinjau secara filosofis, sego kucing atau nasi kucing ini adalah satu bentuk moralitas-ethics terhadap sikap hidup yang menunjukkan dan mengarah pada kesederhanaan, keseimbangan porsi dan tidak berlebihan. Berdasarkan pada satu magnum opus nya Aristoteles dalam Nichomachean Etichs menggambarkan satu pandangan mengenai keutamaan manusia, yang didasarkan pada sifat dasar manusia, terutama yang mencakup pelaksanaan kebajikan moral, seperti kegigihan, kesederhanaan dan kebebasan. Artinya dalam hal ini kita menemukan satu sikap hidup berdasarkan pada sego kucing, ialah manusia diarahkan pada sifat dilihat dari apa yang menjadi konsumsi utamanya.

Dalam sego kucing, kita melihat satu porsi yang sedikit, satu porsi yang oleh sebagian orang boleh jadi dikata 'kurang' dan tidak menerima porsi tersebut. Akan tetapi di angkringan kita menemukan satu makanan yang mau tidak mau kita selaku pembeli menerima satu porsi tersebut sebagai konsumsi kita. Maka berdasarkan pada realitas tersebut, kita menemukan satu relevansi budaya yang mengarahkan kita pada satu pola dan tatanan nilai yang tidak boleh berlebihan, adanya keseimbangan porsi, bersikap menerima apa adanya dan kesederhanaan yang mesti kita pupuk setiap harinya sehingga menjadi sikap dan sifat yang melekat pada keseharian yang bisa diterapkan dalam proses keberlangsungan kehidupan. Sebab hari ini dengan melimpahnya berbagai produk seolah kita digiring pada satu budaya konsumtif atau mengonsumsi secara berlebih, maka dengan realitas budaya yang dibawa sego kucing inilah akan menjadi bendungan arus dari budaya konsumtif tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun