Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertamina Bangun Kilang, Singapura Meradang

10 Februari 2017   21:42 Diperbarui: 10 Februari 2017   22:19 6995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Sebagai perwujudan dari implementasi salah satu Program Nawacita, yaitu Kemandirian Energi, Presiden Jokowi merombak jajaran Direksi Pertamina pada bulan November 2014 dengan menunjuk Dwi Soetjipto, Dirut PT Semen Indonesia perusahaan semen BUMN yang mencatat rekor sebagai perusahaan semen terbesar di Asia Tenggara dan BUMN pertama berstatus Multi National Company. Jokowi percaya, tangan dingin Dwi Soetjipto yang mampu menyatukan 3 BUMN semen dan ekspansi serta transformasi yang dijalankan mampu meningkatkan kinerja Semen Indonesia dalam waktu 9 tahun 2005-2014 kapasitas produksi naik 100% dari 16 juta ton menjadi 31,8 juta ton, serta keuntungan melompat 1.000% dari Rp 500 miliar menjadi Rp 5,34 triliun.

Banyak yang meragukan kemampuan Dwi Soetjipto karena tidak memiliki latar belakang pengalaman memimpin perusahaan diidang migas. Namun, bicara sebagai Dirut adalah berbicara tentang leadership (kepemimpinan). Rekomendasi Tim Reformasi Migas yang diketuai Dr. Faisal Basri untuk membubarkan Petral, ditindaklanjuti dengan lebih cepat dari yang dijadwalkan, bahkan tidak hanya Petral saja, segala perusahaan yang terafiliasi dengan Petral dibubarkan. Setelah Petral bubar, maka tantangannya adalah bagaimana Indonesia bisa mandiri energi, karena dengan lifting minyak sekitar 825 ribu barrel dan kapasitas kilang minyak Pertamina sekitar 800 barrel. 

Sedangkan kebutuhan BBM tahun 2014 saja sudah mencapai 1,4 juta barrel. Kilang minyak yang sudah “menua” dengan tingkat efisiensi “valuable product” dalam bentuk BBM sekitar 70% artinya hanya sekitar 560 ribu barrel BBM yang dihasilkan di kilang dalam negeri. Maka, dibutuhkan impor sekitar 840 ribu barrel atau lebih dari 60% BBM impor.

Sudah 20 tahun Indonesia Tidak Bangun Kilang

Kilang terbaru Pertamina, sekaligus tercanggih ada di Balongan yang dibangun di era Orde Baru Presiden Soeharto, setelah reformasi 1998 sampai sekarang tidak ada lagi kilang minyak yang dibangun, sedangkan konsumsi BBM terus meningkat. Namun, Presiden sudah berganti 4 (empat) kali, namun tidak juga Kilang Minyak di bangun. Belasan sudah Direktur Utama Pertamina berganti, namun tidak juga kilang minyak dibangun. Ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan Indonesia kekurangan BBM, karena pasti akan impor. Siapa diuntungkan, para importir dan negara lain yang memiliki produk BBM berlebih. Sangat tidak masuk akal, Singapura negara yang luasnya setengah DKI Jakarta memiliki kilang minyak yang berkapasitas 1,4 juta barrel, sedangkan konsumsi BBM di Singapura hanya sekitar 180 ribu barrel, sisanya kemana? Pasti ekspor?

Menurut data impor BBM di Indonesia, berasal dari 2 negara yaitu Singapura dan Malaysia. Impor dari Malaysia kecil dibandingkan dari Singapura. Ratusan triliun subsidi energi untuk BBM dialokasikanuntuk impor, lebih dari 60% pengeluaran Pertamina adalah dalam bentuk impor minyak (minyak mentah dan BBM).

Menurut prediksi Kementerian ESDM, pada tahun 2025 konsumsi BBM di Indonesia diprediksi mencapai 2 juta barrel, artinya jika Indonesia tidak bangun kilang, jika Pertamina tidak bangun kilang maka dibutuhkan 1,46 juta barrel BBM impor, tentu melihat peluang ini Singapura dan Malaysia akan menambah terus kapasitas kilang minyak yang dimiliki. Coba dibayangkan, berapa kontribusi Indonesia bagi penguatan devisa Singapura karena impor dari negara tersebut.

Impor minyak saat kondisi harga minyak dunia rendah, tentu sepertinya ringan. Bayangkan subsidi energi bisa mendadak turun meskipun konsumsi BBM meningkat, hanya gara-gara minyak dunia harganya turun. Tahun 2013 harga minyak dunia tembusa diatas US$ 100 per barrel lalu anjlik di tahun 2015 dikisaran US$ 40 dan US$ 50 di tahun 2016. Tapi bagaimana jika harga minyak dunia tembus US$ 200 per barrel lalu konsumsi BBM Indonesia meningkat menjadi 2,2 juta barrel, maka akan dibutuhkan lebih dari Rp. 1.000 triliun untuk impor BBM atau lebih dari 25% APBN akan dibakar dan memperkaya negara lain.

Mafia Migas Ciptakan Image, Bangun Kilang Tidak Ekonomis

Sudah berkali-kali Kementerian Keuangan, Kemenerian ESDM dan Pertamina menghitung feasibility study (FS) membangun kilang. Berkali-kali pula keluar pernyataan membangun kilang minyak tidak ekonomis karena Internal Rate of Return (IRR) hanya 8% dan membutuhkan minimal Rp 80 triliun untuk membangun 1 kilang berkapasitas 300 ribu barrel. Mafia migas pula kuasai perdagangan minyak mentah, bagaimana menteri BUMN Dahlan Iskan sampai pergi negara penghasil minyak, tetap saja minyak sudah dikuasai oleh trader yang berani membeli untuk jangka panjang melalui kontrak berjangka. Artinya masih ada minyak tetapi untuk pengiriman setahun kedepan, untuk kebutuhan sebelum setahun sudah ada ditangan trader.

Kebutuhan dana Rp 80 triliun dibandingkan keuntungan Pertamina tentu masih membutuhkan suntikan dana dari lembaga keuangan. Keuntungan Pertamina yang pada kisaran Rp 20 triliun – Rp 30 triliun tentu tidak cukup, apalagi investasi tentu tidak bisa 100% keuntungan karena harus dicadangkan untuk biaya operasional dan lainnya. Tidak adanya jaminan Pemerintah menjadikan lembaga keungan tentu “maju mundur” untuk bekerjasama dengan Pertamina. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun