Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jurus Dwi Soetjipto Membangkitkan Kembali Optimisme Migas

24 Mei 2019   09:19 Diperbarui: 24 Mei 2019   09:42 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: twitter/@dr_dwisoetjipto

Berbicara tentang Migas, maka dalam beberapa tahun belakangan bahkan sejak tahun 2003, sektor Migas seolah-olah adalah karma, sumbernya penyakit merosotnya perekonomian Indonesia. 

Posisi Indonesia yang sudah Net Importir Migas dan menjadikan Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC menyebabkan Migas menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan yang semakin melebar. 

Ditambah harga rata-rata minyak dunia yang sempat diatas US$ 100/barrel maka di tahun 2013 subsidi energi (BBM & listrik) sempat mencapai diatas Rp 300 triliun atau pos pengeluaran paling besar di APBN di era SBY. Bakar-bakar uang sebanyak  Rp 300 triliun jika dipakai membangun jalan tol sudah bisa menyambungkan Sumatera dan Jawab. 

Jika dipakai membangun ruang sekolah yang biayanya sekitar Rp 300 juta, maka sudah mendapatkan 30.000 ruangan kelas, malah lebih dari cukup untuk mengangkat dan membayar gaji guru honor dan tenaga kerja honorer menjadi Pegawai Negeri.

Pada masa jayanya, sektor Migas memiliki peranan penting bagi Bangsa dan Negara, sebagai sumber Energi juga sebagai sumber Penerimaan Negara, pada puncak kejayaan Migas di era Reformasi kontribusi terhadap penerimaan negara di APBN pernah menyampai 30%. 

Saat ini sektor migas menyumbang antara 8%-10%. Ironis memang, saat kontribusi menurun justru kebutuhan Migas terus tinggi, maka jalan keluarnya adalah impor. 

Dengan kebutuhan BBM sekitar 1,6 juta barrel/hari dan produksi minyak hanya di sekitar 800 ribu barrel/hari maka impor dilakukan sebanyak 800 ribu barrel/hari atau membutuhkan biaya sampai Rp 400 triliun setiap tahun untuk impor Migas.

Benarkah Indonesia sudah Darurat Migas?

Secara produksi memang benar Indonesia sudah darurat Migas, bahkan tinggal 11 tahun sisa produksi Migas. Angka 11 tahun adalah jika tidak ada penemuan cadangan Migas yang baru, sedangkan setiap hari di produksi terus menerus. 

Saat ini cadangan Migas di Indonesia kisaran 3,8 miliar barrel. Namun apakah se-darurat itukah Migas di Indonesia, jawabannya tentu tergantung "sudut pandang dan kepentingan".

Bagi yang malas dan berpikiran sekedar operasional semata, "business as usual" tidak berani mengambil resiko maka benar Cadangan Migas tinggal 11 tahun. Diproduksi sebaik-baiknya dengan yield produk yang tinggi supaya tidak banyak limbah/excess produk yang dihasilkan. 

Beroperasi se-efisien mungkin sehingga ada penghematan biaya operasional sehingga pemasukan untuk negara dapat dijaga. Yaa....benar di jaga hanya sampai 11 tahun kedepan. 

Setelah itu asset Migas yang merupakan asset negara menjadi barang mangkrak dan justru berpotensi mencemari lingkungan ketika berkarat atau peralatan yang tidak ramah lingkungan sudah tidak ada yang merawat.

Bagi yang selalu berpikiran positif, tentu akan terus mencari tahu dan mencari cara apakah memang Indonesia sudah tidak ada sumber Migas lagi. Kenyataannya adalah Indonesia masih banyak sumber Migas, karena masih ada 74 cekungan Migas yang belum di eksploitasi dengan potensi cadangan Migas yang mencapai 7,3 milliar barrel atau hampir 2 kali libat dari Migas yang ditemukan. 

Atau jika 74 cekungan Migas bisa dieksploitasi maka cadangan Migas Indonesia usianya akan naik 2 kali lipat menjadi 11 tahun + 22 tahun atau 33 tahun. Permasalahannya adalah industri Migas adalah industri dengan resiko tinggi, safety yang ketat, teknologi yang tinggi dan tentu saja biaya yang besar. Untuk offshore bisa membutuhkan US$ 100 juta per sumur atau Rp 1,5 triliun dan belum ditemukan adanya minyak. 

Mengebor 1 titik sumur bisa butuh waktu setahun, seperti penemuan blok Saka Kemang oleh KKKS Repsol dengan potensi 2 miliar Triliun Cubic Feet (TCF) gas yang membutuhkan waktu sampai 18 tahun atau berlangsung dari sejak era Pemerintahan Megawati dan baru berhasil menemukan gas di akhir era Pemerintahan Jokowi karena ditemukan diawal tahun2019. Bayangkan mengebor 10 titik lalu tidak ditemukan, sudah Rp 15 triliun uang yang hilang. 

Sudah ditemukan Migas, bukan berarti persoalan selesai, investasi untuk membangun industri migas (pengolahan) juga luar biasa besarnya, seperti Blok Masela yang membutuhkan investasi di kisaran US% 20 miliar atau sekitar Rp 286 triliun.

Membangun Kembali Optimisme Migas

Melihat kompleksivitas industri Migas dan perannya yang sangat besar bagi perekonomian di Indonesia, maka fungsi SKK Migas menjadi sangat penting. Sebagai komandan lapangan operasonal hulu Migas di Indonesia maka perlu terobosan di SKK Migas untuk mulai membangun pondasi yang kuat bagi industri migas kedepannya. 

Membangun industri migas membutuhkan waktu yang lama dan tidak instant, maka butuh sosok Kepala Migas yang sudah teruji dan memiliki daya tahan yang tinggi. Maka tidak salah jika Jokowi memilih Dwi Soetjipto menjadi komandan SKK Migas menggantikan Amien Sunaryadi diakhir tahun 2018.

Sepak terjang Dwi Soetjipto membangun BUMN persemenan selama belasan tahun sejak diangkat menjadi Direktur Litbang PT Semen Padang tahun 1995 sampai tahun 2014 saat menjabat Dirut Semen Indonesia. 

Sehingga BUMN persemenan saat itu begitu kokoh dan mampu ekspansi ke luar negeri yaitu dengan mencaplok Thang Long Cement Company (TLCC) Vietntam di bulan Desember 2012 menjadikan Semen Indonesia menjadi perusahaan semen terbesar di Asia Tenggara mengalahkan Siam Cement Thailand dan menjadi BUMN pertama yang berstatus Multinational Company. Di akhir kepemimpinan di Semen Indonesia, Dwi Soetjipto menciptakan rekor keuntungan terbesar yaitu mencapai Rp 5,6 triliun.

Prestasi yang tidak bisa dilanjutkan para penggantinya karena kinerja Semen Indonesia terus turun, dengan laba dikisaran Rp 2 triliun sampai Rp 3 triliun. Aset Semen Indonesia bertambah, tetapi justru laba malah turun. 

Jika berbicara tentang industri semen yang oversupply, tentu fenomena ini akan ada terus karena adalah cycle bisnis. Jika ada bisnis yang untungnya gede, pasti berbondong-bondong investor membangun bisnis tersebut, ada gula ada semut. 

Lalu industri tersebut kelebihan pasokan, berulang setiap waktu jadi tidak penting sebuah bisnis itu sedang "red zone" atau "blue zone" karena bagaimana membangun daya saing perusahaan adalah kunci untuk terus memenangkan persaingan.

Kepincut dengan keberhasilan Holding Semen Indonesia, Presiden Jokowi memberikan tugas kepada Dwi Soetjipto dengan tantangan baru yang lebih besar dan lebih kompleks dengan menjadikannya sebagai Direktur Utama PT Pertamina. 

Hanya perlu 2 tahun bagi Dwi Soetjipto untuk membuktikan kemampuannya sebagai CEO handal, yaitu di tahun 2016 untuk pertama kalinya laba Pertamina mencapai US$ 3,15 miliar dollar atau setara Rp 42 triliun saat itu dan mengalahkan laba Petronas Malaysia. 

Tidak hanya itu, keberaniannya dan tentu didukung Presiden saat itu, tercatat dalam sejarah Dwi Soetipto membubarkan PETRAL, sebuah sosok perusahaan yang seolah-olah "tidak tersentuh" dan menyebabkan in efisiensi dalam pengadaan minyak di Pertamina (minyak mentah maupun BBM). Tapi Dwi Soetjipto kalah sakti dengan Mafia Migas. PETRAL boleh bubar, tetapi Mafia Migas terus bekerja dan puncaknya Dwi Soetjipto di copot dari jabatan sebagai Dirut Pertamina di bulan Februari 2017. 

Bayangkan ibarat di era kekaisaran Romawi, ada seorang Jenderal yang baru saja meraih kemenangan gemilang dengan mengalahkan musuh terbesar kekaisaran Romawi, tetapi kemudian dicopot dengan alasan tidak becus memimpin pasukannya. 

Dwi Soetjipto melawan?, tentu tidak sebagai sosok yang lama berkutat dengan berbagai konflik dan menyelesaikan konflik, dia menyakini bahwa yang benar suatu saat akan menemukan jalan kebenaran.

Apa jurus Dwi Soetjipto di SKK Migas

Pasti banyak jurus yang dimiliki sosok Dwi Soetjipto, tetapi bisa dilihat dari cara khas yang dilakukan yaitu selalu melakukan pembenahan kedalam, menyakinkan stakeholders dan menciptakan quick win dalam jangka pendek.

Pembenahan kedalam, hal ini nampak dari upaya Dwi Soetjipto mengangkat moral dan potensi jajaran SKK Migas. Dengan cepat merancang management work trough (MWT) sesuatu yang di copy -- paste dari apa yang pernah dilakukan di Pertamina. 

Mendatangani perwakilan SKK Migas di berbagai daerah di Indonesia, menyampaikan pemikirannya dalam membangun kinerja SKK Migas, mendorong karyawan berani untuk melakukan sesuatu sampai mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan setiap karyawan, pola bottom up dibangun.

Menyakinkan stakeholders, beberapa kendala besar dalam proyek Migas adalah kendala lahan dan perijinan. Maka Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan mendorong dilakukan pemangkasan perijinan di Migas. Saat ini sejak dimulai fase Plan of Development (POD) sampai berhasil dibutuhkan waktu 4 tahun untuk menyelesaikan ijin, AMDAL dan banyak hal lainnya. 

Dalam hal ini Dwi Soetjipto menjanjikan 2 tahun sudah selesai. Karena ijin, AMDAL dan lainnya ada di kementerian teknis, maka Dwi Soetjipto roadshow aktif melakun komunikasi dengan Kapolri, Menteri ATR/BPN, Pimpinan KPK, Menteri LHK dan lainnya agar proses di Migas dapat dipercepat dengan tetap berada di koridur regulasi dan hukum. 

Aktif melakukan ekspos industri migas ke dalam dan keluar negeri untuk memberikan rasa optimism industri Migas bagi kalangan pengusaha dalam negeri dan luar negeri.

Membangun target quick win. Karena belum 1 tahun, maka belum kelihatan apa quick win utama yang dapat menarik perhatian publik. Namun tentu butuh waktu, tapi jika melihat proses yang dilakukan Dwi Soetjipto maka seperti yang pernah dilakukan di Semen Indonesia dan Pertamina, maka capaian kinerja dan quick win.

Membangun basis data yang kuat dan kepercayaan terhadap data Migas di Indonesia

Membentuk dan me-launching Indonesia Oil & Gas Insitute (IOGI) yang dilakukan di akhir April 2019 adalah salah satu upaya memonetisasi potensi Migas di Indonesia, sekaligus membentuk pusat data yang dapat dipercaya, agar setiap data migas yang ada adalah data "matang" yang siap di eskekusi oleh investor. 

Hal ini tentu dapat mempercepat waktu penemuan migas di Indonesia, sehingga mengurangi biaya yang harus ditanggung investor. Ujung-ujungnya menciptakan image investasi di Indonesia itu timeable dan reasonable. Waktunya dapat diprediksi dan biayanya bersaing dengan negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun