Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jurus Dwi Soetjipto Membangkitkan Kembali Optimisme Migas

24 Mei 2019   09:19 Diperbarui: 24 Mei 2019   09:42 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: twitter/@dr_dwisoetjipto

Bagi yang malas dan berpikiran sekedar operasional semata, "business as usual" tidak berani mengambil resiko maka benar Cadangan Migas tinggal 11 tahun. Diproduksi sebaik-baiknya dengan yield produk yang tinggi supaya tidak banyak limbah/excess produk yang dihasilkan. 

Beroperasi se-efisien mungkin sehingga ada penghematan biaya operasional sehingga pemasukan untuk negara dapat dijaga. Yaa....benar di jaga hanya sampai 11 tahun kedepan. 

Setelah itu asset Migas yang merupakan asset negara menjadi barang mangkrak dan justru berpotensi mencemari lingkungan ketika berkarat atau peralatan yang tidak ramah lingkungan sudah tidak ada yang merawat.

Bagi yang selalu berpikiran positif, tentu akan terus mencari tahu dan mencari cara apakah memang Indonesia sudah tidak ada sumber Migas lagi. Kenyataannya adalah Indonesia masih banyak sumber Migas, karena masih ada 74 cekungan Migas yang belum di eksploitasi dengan potensi cadangan Migas yang mencapai 7,3 milliar barrel atau hampir 2 kali libat dari Migas yang ditemukan. 

Atau jika 74 cekungan Migas bisa dieksploitasi maka cadangan Migas Indonesia usianya akan naik 2 kali lipat menjadi 11 tahun + 22 tahun atau 33 tahun. Permasalahannya adalah industri Migas adalah industri dengan resiko tinggi, safety yang ketat, teknologi yang tinggi dan tentu saja biaya yang besar. Untuk offshore bisa membutuhkan US$ 100 juta per sumur atau Rp 1,5 triliun dan belum ditemukan adanya minyak. 

Mengebor 1 titik sumur bisa butuh waktu setahun, seperti penemuan blok Saka Kemang oleh KKKS Repsol dengan potensi 2 miliar Triliun Cubic Feet (TCF) gas yang membutuhkan waktu sampai 18 tahun atau berlangsung dari sejak era Pemerintahan Megawati dan baru berhasil menemukan gas di akhir era Pemerintahan Jokowi karena ditemukan diawal tahun2019. Bayangkan mengebor 10 titik lalu tidak ditemukan, sudah Rp 15 triliun uang yang hilang. 

Sudah ditemukan Migas, bukan berarti persoalan selesai, investasi untuk membangun industri migas (pengolahan) juga luar biasa besarnya, seperti Blok Masela yang membutuhkan investasi di kisaran US% 20 miliar atau sekitar Rp 286 triliun.

Membangun Kembali Optimisme Migas

Melihat kompleksivitas industri Migas dan perannya yang sangat besar bagi perekonomian di Indonesia, maka fungsi SKK Migas menjadi sangat penting. Sebagai komandan lapangan operasonal hulu Migas di Indonesia maka perlu terobosan di SKK Migas untuk mulai membangun pondasi yang kuat bagi industri migas kedepannya. 

Membangun industri migas membutuhkan waktu yang lama dan tidak instant, maka butuh sosok Kepala Migas yang sudah teruji dan memiliki daya tahan yang tinggi. Maka tidak salah jika Jokowi memilih Dwi Soetjipto menjadi komandan SKK Migas menggantikan Amien Sunaryadi diakhir tahun 2018.

Sepak terjang Dwi Soetjipto membangun BUMN persemenan selama belasan tahun sejak diangkat menjadi Direktur Litbang PT Semen Padang tahun 1995 sampai tahun 2014 saat menjabat Dirut Semen Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun