Mohon tunggu...
Arief Gununk Kidoel
Arief Gununk Kidoel Mohon Tunggu... lainnya -

"Sejenak Menapak Riuhnya Dunia Maya" ~ penghobi tanaman hias dan koleksi ~ di desa di Gunung Kidul DIY Hadiningrat yang mencoba belajar menulis ~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cerita tentang Pahlawan dan Kebencian pada Penjajahan

10 November 2011   16:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:49 2328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Cerita tentang pahlawan rata-rata biasa didapat pada waktu sekolah dulu. Bagaimana kisah perjuangan Tjut Nya' Dhien, Teuku Umar, Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, dan berderet-deret tokoh pahlawan sampai pada Bung Karno, Bung Tomo hingga pahlawan revolusi 1965.
Dari antara cerita perjuangan para pahlawan itu, bagi saya, yang paling membekas adalah perlawanan fisik melawan Belanda. Digambarkan bagaimana kejamnya Belanda menjajah sejak VOC sampai sekitar mempertahankan kemerdekaan. Juga tentang bagaimana penjajahan yang seumur jagung oleh Jepang, cukup nyantol di kepala kecil. Walaupun dulu pertamanya masih bingung dengan istilah seumur jagung.

Dari berbagai cerita pahlawan yang kemudian dominan sebagai perlawanan meraih kemerdekaan, lepas dari penjajahan Belanda. Tentu diantara tujuannya adalah menumbuhkan semangat cinta tanah air, rasa kebangsaan, dan juga diharapkan meniru tauladan para pahlawan rela berkorban untuk negara. Mungkin begitu yang ada dalam tujuan garis besar kurikulum pelajaran tersebut. Saya tidak paham istilahnya. Para guru yang paham.

Di sisi lain, cerita-cerita kepahlawanan utamanya perjuangan fisik, seolah menyiratkan kebencian pada penjajah baik Belanda, Jepang, dll. Padahal bisa jadi yang dimaksud adalah kebencian pada penjajahan itu. Seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Kemudian tadi sore kebetulan saya mendengar perbincangan yang membahas sekitar masalah cerita kepahlawanan itu, antara anak kelas 5 SD dengan pamannya.

Setelah berbincang tentang pahlawan-pahlawan, si anak kelas 5 SD itu bertanya: "Berarti orang-orang Belanda jahat ya?"

Agak bingung sejenak, si paman akhirnya menjawab juga: "Ya tidak jahat."

Anak kelas 5 SD tadi nanya lagi: "Kok tidak jahat? Kan sudah menjajah dan jadi lawannya pahlawan-pahlawan?"

Si Paman menerangkan lagi: "Oh, itu orang-orang Belanda jaman dulu. Kalau sekarang tidak jahat. Orang-orang Belanda sekarang kan cucu-cucunya yang dulu menjajah. Mereka baik-baik. Tidak tahu apa-apa."

Sepertinya si anak kelas 5 SD sudah cukup puas dengan penjelasan pamannya.

Menyimak perbincangan tersebut, rasanya sudah tidak relevan untuk menekankan pada pelaku penjajahan. Tapi pada keburukan penjajahan itu sendiri yang tidak berperikemanusian dan tidak berperikeadilan.
Selain yang utama juga adalah penekanan pada nasionalisme, cinta tanah air, bangsa dan negara.

Biarpun setelah agak besar, lantas penanaman patriotisme seolah tercerabut seakar-akarnya. Manakala berhadapan dengan kenyataan bagaimana morat maritnya kehidupan perpolitikan sampai pada maraknya korupsi, seolah menjadi alat pencabut nasionalisme yang tertanam sejak sekolah dulu. Entah apa yang menyebabkan. Namun rasanya cerita para pahlawan menjadi kabur seperti lolosnya penilep-penilep uang rakyat dengan segala kepalsuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun