Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Sindrom Perbandingan Karier Menggerogoti Usia Produktif

22 Februari 2020   08:39 Diperbarui: 22 Februari 2020   10:11 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi obsessive comparison disorder (Sumber: pexels.com)

Berkat media sosial, kita berkenalan dengan orang-orang yang sedang berdiri di puncak karir. Lebih dari itu, media sosial juga memungkinkan kita melihat kehidupan mereka dari hari ke hari. Memuaskan dahaga visual akan potret ideal dalam menapaki jenjang karir.

Uniknya, narasi yang berkembang seputar dunia karir selalu sama. Bahwa kalau orang lain bisa, berarti kamu juga bisa. Kalau tidak percaya, cek saja lini masa seputar karir di Instagram, Twitter, atau LinkedIn.

Masalahnya, semakin melihat kehidupan mereka yang melejit karirnya, justru tidak membuat diri kita tersemangati. Yang muncul malahan penginsafan diri atas ketidak-beruntungan atau ketidak-kompetenan yang dititipkan Tuhan sebagai bentuk cobaan. Inilah sindrom perbandingan karir.

Sindrom perbandingan karir merupakan salah satu bentuk gangguan perbandingan obsesif (obsessive comparison disorder) dalam teori perbandingan sosial. Sindrom ini membuat para penderitanya terjebak dalam siklus membandingkan, lalu putus asa ketika melihat orang lain memiliki apa yang tidak ia punya.

Dalam konteks karir, sindrom ini kerap muncul ketika kita melihat orang lain lebih baik pekerjaannya. Bisa karena nominal upah yang lebih besar, lingkungan yang lebih nyaman, kesesuaian dengan bidang pendidikan, penghargaan yang baru didapat, atau apa saja yang terlihat lebih membahagiakan.

Objeknya pun tak harus orang tak dikenal yang sudah sukses di usia muda. Rekan satu almamater juga bisa menjadi penyebabnya. Apalagi bagi para fresh graduate yang tak kunjung mendapat panggilan kerja. Rasanya, kok teman yang itu beruntung sekali ya habis lulus bisa langsung bekerja?

Karenanya, mari mempelajari sindrom yang satu ini. Mulai dari tanda-tandanya, hingga bagaimana cara mengatasinya jika sindrom tersebut mulai menggerogoti diri kita.

Gejala Sindrom Perbandingan Karir

Gejala utama dari sindrom perbandingan karir ialah merasa bahwa orang lain memiliki karir yang lebih sukses. Rasa-rasanya ada ketidakadilan yang membuat mereka lebih sukses daripada kamu.

Sindrom ini juga memiliki gejala iri hati ketika kamu melihat foto kesuksesan temanmu di media sosial. Anehnya, kamu tetap mengecek kiriman terbaru dari teman tersebut meskipun selalu dihinggapi iri. Just like you were addicted.

Semakin rutin kamu melihat hal tersebut, kamu akan semakin membandingkanmu hidupmu dengan hidup mereka. Akhirnya muncul gejala yang lebih parah, yakni merasa gelisah, sulit tidur, dan berujung pada depresi.

Ilustrasi Pengidap Sindrom Perbandingan Karir (TheEconomicTimes).
Ilustrasi Pengidap Sindrom Perbandingan Karir (TheEconomicTimes).
Gejala-gejala tersebut selanjutnya dapat bergabung dengan kultur rasa malas yang kita miliki. Hasilnya jadi senang menunda-nunda, baik itu pekerjaan, rencana peningkatan kualitas diri, atau rencana mengeksekusi ide-ide cemerlang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun