Mohon tunggu...
Adv. Arief Budiman, S.H.
Adv. Arief Budiman, S.H. Mohon Tunggu... ADVOKAT -

Advokat / http://advokatariefbudiman.blogspot.com /\r\n advokatariefbudiman@gmail.com / \r\n arief_japfa@yaho.co.id / \r\n 081273777977 /\r\n Palembang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Legal Standing Warga Masyarakat sebagai Penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara

12 Februari 2016   14:29 Diperbarui: 12 Februari 2016   15:26 6844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut penulis masuknya Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 ayat 9 disebutkan  Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bgai pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi. Persoalannya kemudian, bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut ?. dalam pasal 31 disebutkan:

(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.

Dalam kontek pembatalan diskresi inilah kemudian PTUN berwenang untuk mememeriksa, menguji, mengadili dan memutuskan. Namun apabila menggunakan kriteria KTUN versi UU no 51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Pengadilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya terbatas pada pengujian terhadap Keputusan Tata  Usaha Negara (beschikking). Namun denga ketentuan pasal 87 UU AP di atas maka tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah/OOD (Onrechtmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya

2.     Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Kalimat dalam pasal 87 memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN. Selama ini berdasarkan Pasal 2 huruf e Undang-Undang PTUN No 9 tahun 2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada perkembangannya,  tata usaha Tentara Nasional Indonesia saat ini sepenuhnya berada di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah komando Panglima TNI. Pertanyaannya apakah dengan adanya bunyi pasal 87 di atas menghapus pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf e Undang-Undang no 9 tahun 2004. Menurut penulis karena TNI saat ini murni dibawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertahanan, maka setiap KTUN yang terbit dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di PTUN. Hal ini menunjukkan bahwa semangat demokratisasi dana penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, termasuk di kalangan Tentara Nasional Indonesia.

3.      Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat 2 UU No 9 tahun 2004 tentang PTUN makna menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN dalam mengkontruksi kerugian hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata. Namun dengan adanya klausul ” berpotensi menimbulkan akibat hukum” menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di PTUN. Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat digugat di PTUN.

Apabila ditelisik lebih jauh, klausul ” berpotensi menimbulkan akibat hukum” yang menjadi kriteria KTUN memiliki relevansi dengan diaturnya Tindakan Faktual dalam hal ini dalam bentuk Diskresi dalam UU AP ini. Sebagai tindakan faktual, diskresi diterbitkan atas dasar adanya kekosongan hukum, atau belum adanya hukum yang mengatur bagi pejabat TUN untuk melakukan tindakan pemerintah. Dengan lahir dari kemungkinan kekosongan hukum, maka lahirnya tindakan faktual berpotensi merugikan pihak-pihak lain yang terkait dengan tindakan pemerintah tersebut.

4.      Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat. Klausul ini menambah makna baru dari Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN. Menurut Pasal 1 ayat 15 UU Administrasi Pemerintahan Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Secara teks nampak tidak ada perubahan baru antara definisi Warga Masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur dalam UU No 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah  ” seseorang atau badan hukum perdata”.  Namun hilangnya redaksi ”Individual” baik dalam pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 menunjukkan bahwa semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU Administrasi Pemerintahan bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU Administrasi Pemerintahan memberikan kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait pada Individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi Warga Masyarakat secara keseluruhan.

Dalam konteks pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai sebuah keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat sangat relevan dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN yakni asas erga omnes yakni sebuah asas yang menegaskan bahwa putusan Peradilan Administrasi bersifat mengikat secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan sebuah perkara atau KTUN. Salah satu konsekuensi logis dari penerapan asas erga omnes terhadap pemberlakuan putusan PTUN adalah kriteria KTUN yang dapat digugat adalah Keputusan yang  berpotensi menimbulkan akibat hukum sebagaimana disebutkan di atas. Dengan posisi dan makna berpotensi menimbulkan akibat hukum, maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN, namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.

 

         Peluang “publik secara luas”, dalam arti warga masyarakan secara umum, yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah sangat selaras dengan tujuan dari dibentukanya UUAP yang tertuang dalam Pasal 3 undang-undang ini, yaitu memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada warga masyarakat, dan juga selaras dengan Penjelasan Umum UUAP yang menyatakan bahwa:

“... Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, ...”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun