Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Mudah Menjadi Pendidik di “Kaki” Suramadu

2 Oktober 2015   09:04 Diperbarui: 2 Oktober 2015   09:04 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua malam lalu, pembelajaran (Spiritual) Marketing Management bersama para mahasiswa FE Universitas 45 Surabaya begitu menarik. Selepas doa bersama, saya membuka perkuliahan dengan menyerahkan telinga saya kepada mereka. Saya mengambil peran mendengarkan saja  pengalaman mereka terkait dengan pemasaran dan perilaku konsumen. 

Saya katakan, “Kita telah cukup banyak mempunyai pengalaman hidup terlibat dengan aktivitas pemasaran, baik sebagai pemasar, sebagai konsumen, maupun sebagai korban praktik pemasaran. Sekarang, saya ingin mendengar langsung dari Anda, apa yang pernah Anda alami. Anda boleh menceritakan pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan”.  

Opik yang mendapat giliran pertama, berkisah: 

“Saya bekerja di bidang pendidikan (SD). Kami mengalami beberapa kendala. Pertama adalah kendala membangun komunikasi efektif dengan para orang tua murid yang sebagian besar masih belum mengerti baca tulis. Mereka pasrah total kepada kami (sekolah) tentang bagaimana jalannya pendidikan putra-putri mereka.

Persoalan ke dua adalah cara para orang tua memersepsi kata “PENDIDIKAN GRATIS” yang selalu didengung-dengungkan pemerintah. Bagi mereka, gratis ya gratis! Oleh karenanya, ‘biaya’ (uang) sebagai bagian konsekwensi dari terlaksananya pendidikan yang berkualitas, menjadi sangat sensitif untuk dibicarakan dengan mereka. Padahal faktanya, tidak seluruh kebutuhan selama proses pendidikan berlangsung, sanggup ditanggung pemerintah.  

Kami berposisi di kaki Suramadu. Jangankan bicara tentang biaya, bicara tentang kerjasama saja susah. Bila di tempat lain, para orang tua masih bisa diharapkan kerjasamanya dalam mempercepat kemajuan pembelajaran anak, di sini sulit sekali! Maksud saya begini, selepas sekolah, seharusnya kan tanggung jawab ada di tangan orang tua? Tapi ini sulit terwujud.

Kami tidak bisa berharap kerjasama mereka untuk ikut terlibat dalam kemajuan belajar putra-putri mereka. Nyaris seluruh PR tidak pernah dikerjakan di rumah. Di luar sekolah, anak-anak menjadi liar. Bagaimana orang tua bisa mendampingi pembelajaran, jika sementara mereka sendiri tidak bisa baca tulis?

Bukan hanya itu, pemahaman para orang tua tentang wajib belajar masih sangat terbatas. Wajib belajar dipersepsi sebagai wajib belajar di sekolah saja, sedang di rumah tidak wajib. Sikap permisif ini membuat anak cenderung nakal dan abai terhadap tanggung jawab.”

Itu cerita Opik. Sekilas tampak tak ada hubungannya dengan manajemen pemasaran. Tidak ada persoalan dengan jumlah murid. Siswanya lumayan banyak. Artinya, tidak perlu promosi pun sudah dapat murid. (Walaupun sebenarnya promosinya nebeng pemerintah lewat jargon pendidikan gratis).

Opik tampak telah mengenal dengan baik definisi bahwa produk adalah segala sesuatu yang bisa ditawarkan kepada pasar/konsumen/pembeli untuk dimiliki maupun dikonsumsi. Sehingga, dia membawa kasus ini ke dalam kelas pemasaran.

Lalu apa jawaban saya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun