Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Maaf, Jika Kadang Ku Tak (Bilang) Sholat

30 Mei 2012   06:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36 1769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Membaca beberapa tulisan kawan soal ibadah, saya jadi ingat suatu pagi ketika hendak melaksanakan shalat dhuha. Hand phone saya berbunyi. Seorang karib dari jauh bertanya, sedang apakah saya. Saya spontan menjawab, “aku baru akan sembahyang”.

“Apaaaa?”, tanyanya terheran-heran.

Kuulangi jawaban, “aku mau sembahyang…”

Lantas dia sarankan agar saya tidak lagi berkata sembahyang untuk sholat. Nah… ini juga saya bingung nulisnya. Mana yang bener, sholat, solat, shalat atau salat? Sebab ketiganya sering saya jumpai digunakan silih berganti. Katanya, sembahyang tak lagi jamak digunakan untuk orang Islam. Itu peninggalan nenek moyang.

Hmm…bukan bermaksud rasis, apalagi mencampuradukkan ajaran-ajaran dalam agama.

Saya, yang terlahir di Jawa dan terlanjur menjadi Jawa ini, jadi tidak mengerti mengapa saya tak boleh (berkata) sembahyang. Setahu saya, kata sembahyang, sebagaimana yang diajarkan orang tua kami adalah bermakna“Sembah _ Hyang”.

Sembahyang, bagi kami mempunyai makna “Menyembah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, Yang Maha Besar, Yang Maha Kasih dst. Begitu pelajaran yang kami terima di tempat kelahiran kami.

Saya ingat betul lagu-lagu pujian yang terlantun dari dalam surau-surau di daerah kami, setiap usai adzan maghrib sebelum dilaksanakan shalat. Syair lagu pujian itu dilantunkan dalam bahasa Jawa. Begini bunyinya:

Eman temen wong sugih kok ra sembahyang,

Nabi Sulaiman sugih yo gelem sembahyang,

Eman temen wong ayu kok ra sembahyang,

Siti Fatimah ayu, yo gelem sembahyang,

Eman temen wong bagus kok ra sembahyang,

Nabi Yusuf nggantheng, yo gelem sembahyang,

Eman temen wong loro kok ra sembahyang,

Nabi Ayub loro, yo gelem sembahyang…

Dst..dst….

Terjemahan Bahasa Indonesianya begini:

Sayang sekali orang kaya kalau ia tak sembahyang,

Meskipun Nabi Sulaiman kaya, ia juga mau bersembahyang,

Sayang sekali orang cantik kalau ia tak sembahyang,

Meskipun Siti Fatimah cantik, ia juga mau bersembahyang,

Sayang sekali orang tampan kalau ia tak sembahyang,

Meskipun Nabi Yusuf tampan, ia juga mau mau bersembahyang,

Sayang sekali orang sakit kalau ia tak sembahyang,

Nabi Ayub sakit, ia juga mau bersembahyang…

Dst..dst….

Sekali lagi. Saya yang terlahir Jawa, tentu saja sangat bisa meresapi ajaran di dalamnya. Dalam bahasa Jawa asli yang saya pahami, nyanyian pujian ini mengajarkan nilai-nilai yang amat luhur. Isinya sangat membekas ke dalam lubuk sanubari kami. Sehingga sejauh apapun kami pergi meninggalkan surau-surau itu, bahkan ketika jauh meninggalkan daerah kami, isi lagu itu tetap mengingatkan kami terhadap kewajiban lima waktu yang harus kami lakukan.

Bahwa sembahyang (shalat) harus dikerjakan dalam keadaan apapun, dalam keadaan cantik atau jelek, sehat ataupun sakit, bahagia atau tidak bahagia, tampan atau buruk rupa, kaya atau pun miskin.

Saya tidak mengerti ciptaan siapa lagu itu, tapi sungguh sangat terkenal di daerah kami. Kenangan masa kecil itu sanggup membekas dan menjadi “pengingat” bagi kami dalam menyelesaikan perjalanan hidup. Bahkan hati kami seperti gemar mendendangkannya sepanjang hidup. Rasanya tidak pernah terbersit dalam benak untuk datang kepada Tuhan Allah lalu mempertanyakan apakah DIA mengerti isi lagu kami, yang kami selalu nyanyikan dalam bahasa Jawa itu, atau tidak.

Dalam keadaan keingintahuan yang mendalam soal kata sembahyang, yang bermakna Menyembah (H)Yang…..dan dalam keseharian kami yang masih suka kental menyebut Tuhan dengan sebutan Gusti Allah Kang Moho Suci (Tuhan Allah Yang Maha Suci), saya membuka kitab suci.

”Katakanlah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai asma’ul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah diantara keduanya” (QS Al Isra’, 17: 110)

Pemahaman saya, Dia membebaskan kita dalam menyebut namaNya dengan nama apa saja yang ada dalam asma’ul husna. Maka selain menyeruNya Allah (Alloh), kita diijinkan pula menyebut nama-nama lainNya, seperti “Yang Maha Kasih, Yang Maha Sempurna, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Raja, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Kudus…dst”

Terakhir, saya mencoba membuka beberapa buku yang memuat asma’ul husna. Dan benar saja. Ketika saya menelusuri asma’ul husna, saya dapati bahwa Allah, atau Alloh adalah salah satu saja dari nama-namaNya. Allah ada dalam urutan pertama dari 99 asma’ul husna. Selain itu, masih ada 98 nama lagi yang boleh dipilih, yang terbaik untuk diseru. Alhamdulillah.

Terima kasih telah membaca…,

Salam bahagia penuh karya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun