Mohon tunggu...
Ari da Kedes
Ari da Kedes Mohon Tunggu... Pelajar Perenial

Sekadar pelajar perenial yang gemar bereksperimen dengan bahasa untuk merangkai cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetaplah Gelap

23 Maret 2025   00:30 Diperbarui: 24 Maret 2025   13:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gelombang Pasir Hitam (Sumber: Unsplash/Adrien Olichon)

Tetaplah Gelap, wahai anak bangsa, butakan matamu, tulikan kupingmu, dan sesakkan napasmu. Semua untuk bangsa.

              "Laras, apa yang sedang kau lakukan?!" histeris Ibu Dwi menarik tangan anak bungsunya, yang menggenggam pena, ke arah atap. "Kau menulis? Sudah berapa kali harus Ibu bilang, jangan menulis!" tangannya yang tidak menyandera tangan Laras menyambar kertas yang ada di meja anak itu, "Cerita apa lagi ini? Aku dan Dia? Aduh ... Kecil-kecil sudah berpikir beginian, sudah tidak perlu lagi kau tulis beginian, ya, Laras, belajar saja di sekolah baik-baik. Sekolah selalu mengajarkan yang terbaik."

              Laras hanya diam, merasakan denyutan di pergelangan tangannya, dan bekas tanda cengkeraman panik ibunya. Padahal Laras tidak berencana membagikan ceritanya itu ke mana-mana. Ia hanya menulis untuk menuangkan ekspresinya dalam kata-kata yang dirangkai di kertas yang kini kumal di genggaman Ibu Dwi. Namun, ia tahu, meskipun pergelangan tangan dan jantungnya berdentam sakit, Ibu Dwi bermaksud melindunginya.

Tiada kecanduan ataupun kegilaan yang lebih berbahaya dari yang gemar menulis. Di antara kata-kata berbisa mereka dapat dilumuri racun yang merenggut nyawa. Dengan sehelai kertas, mereka dapat mengguncang dunia. Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi yang menulis. Tidak boleh ada lagi bacaan selain yang diedarkan oleh Yang Berwenang. Semua bacaan harus diberikan persetujuan oleh otoritas itu. Seluruh materi sekolah dikekang dan diatur oleh entitas tanpa muka yang menguasai bangsa ini, menanamkan bibit-bibit yang akan tumbuh dalam imaji Mereka. Semua untuk bangsa.

              Namun, Laras sudah telanjur menggemarinya sebelum larangan tersebut diterapkan. Tiada kecanduan ataupun kegilaan yang lebih berbahaya dari yang gemar menulis. Mereka yang telah merasakan keindahan merangkai suatu cerita akan merasa hampa bila tidak dapat lagi menulis; menulis bagaikan oksigen baginya. Laras akan diam-diam mencari pena, pensil, bahkan batu tajam, apa pun alat tulis yang dapat digunakannya, untuk menulis isi hatinya.

              Puisi-puisinya dirangkai, kemudian dirobek menjadi serpihan supaya tidak ketahuan Ibu Dwi. Asalkan ia dapat melampiaskannya ke kertas, ia tidak perlu kata-kata itu dibaca ulang lagi. Terlalu bahaya. Ia tidak dapat mengambil risiko tersebut. Tahun demi tahun berlalu. Laras tetap menulis diam-diam di bawah naungan rembulan ketika Ibu Dwi sudah tidur pulas.

Alhasil, setiap pagi Laras bangun terhuyung dan tidak bisa fokus di kelas. Apalagi kelas-kelas seperti Sejarah yang gurunya banyak berbicara di depan kelas. Padahal, Laras merasa cerita-cerita dalam Sejarah sungguh menarik untuk ditelusuri, tetapi apalah kuasa dirinya. Bahkan gurunya harus mengikuti anjuran Yang Berwenang untuk mengingat tanggal-tanggal lampau dan nama lengkap para tokoh, bukan nilai yang dapat dipelajari dari peristiwa bersejarah tersebut. Tidak heran Laras sering pulas tertidur dalam kelas ini.

              Kelas-kelas bahasa yang dahulu Laras suka kini merasa monoton. Alih-alih mengajarkan tata berbahasa yang baik, atas anjuran Yang Berwenang, kini pelajaran-pelajaran itu penuh dengan hapalan pula. Jenis-jenis teks seakan dijadikan senyawa dalam Kimia yang perlu dihapal. Tujuan akhir yang hendak dicapai bukan kemampuan berbahasa, melainkan jurus-jurus jitu menerawang jawaban dalam banyaknya ujian---demi meraih angka tinggi dalam secarik kertas. Angka-angka tersebut yang kemudian akan digunakan, diolahkan, dan dibanggakan bangsa. Melainkan angka, tidak ada siapa atau apa pun yang perlu dipedulikan. Semua untuk bangsa.

              Laras tidak banyak berbicara dalam sekolah. Ia menyelesaikan tugas sekolahnya, tidur saat jam istirahat, dan duduk sendiri di pojokan sekolah, sementara remaja-remaja lainnya berseru sorak-sorai menghabiskan tenaga mereka, layaknya anak muda. Mata mereka hanya terpusat ke hal-hal yang berhubungan dengan sekolah, keluarga, dan teman di depan mereka. Tawa mereka di depan panggung adalah fatamorgana yang menutupi permainan di belakang tirai; tawa mereka fana, tetapi berhasil membuyarkan jeritan orang-orang lain, anak-anak lain seusia mereka, yang sengsara di daerah lain dalam bangsa. Dalam kegelapan yang menutupi mata dan telinga mereka, Mereka dapat bersinar bagai mentari. Oleh karena itu, tetaplah gelap, wahai anak bangsa. Tetaplah gelap. Laras tertidur menghiraukan seluruh hiruk-pikuk dalam sekolah.

              Sontak, ia terbangun dan kaget melihat beberapa siswa di hadapannya. "Weh, weh, bangun, weh ..." desis salah satu dari mereka, menepuk bahu satu yang paling dekat dengan muka Laras. Ia pernah melihat muka-muka para cowok ini di kelas, tetapi tidak dapat mengingat nama-nama mereka. Ia hanya tahu, cowok yang paling dekat dengan mukanya sering dipuji guru di depan kelas, sering mendapatkan nilai sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun