Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 2.780 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 24-04-2024 dengan 2.172 highlight, 17 headline, dan 106.868 poin. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semangkuk Bakso dan Sebuah Label Pilihan

10 November 2020   06:00 Diperbarui: 22 Oktober 2021   18:26 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri adik penulis

"Kak, ga dilabel lagi. Ini yang kedua hari ini," begitulah gerutuan Di sore ini. 

"Di, kamu butuh kertas label kah? Kakak punya banyak, ada yang warna pink juga. Warna kesukaanmu, kan?" kataku mencoba menggodanya. Nadi tambah cemberut. Entah mengapa Bunda dan Ayah memberi nama Nadi pada adik semata wayangku ini. Kami memanggilnya Di.

"Ah, Kakak! Biasa deh." Di beranjak pergi dari kamarku. Di berharap mendapat kata-kata yang menghibur, namun yang ada malah kata-kata ledekkan dariku. Aku kembali menatap tumpuk kertas di depanku. Baru aku sentuh keyboard di laptopku ketika tiba-tiba. "Yey, Kak, ini dilabel, puisi ketigaku hari ini. Aduh senangnya."

"Baguslah, jadi kertas label kakak utuh. Ga jadi bagi-bagi.", kataku masih dengan nada menggoda adikku ini. Entah mengapa aku suka sekali membuat dia cemberut. Kalau sedang cemberut, wajahnya tambah lucu. Meski ayah sering mengingatkanku agar tak terlalu sering menggoda Di.

"Di, kenapa sih label editor di tulisanmu begitu penting?", suatu kali karena penasaran kutanyakan juga padanya.

"Ih kakak, pertanyaannya ga seru ah, males jawab." Nadi kembali mengetik di laptopnya, kehadiranku dicuekin. Astaga. Pagi, siang, sore, malam kadang masih juga mencoba menulis puisi. Ada saja ide di kepalanya.

Kadang kalau sedang banyak waktu luang, aku pasti sempatkan baca-baca puisi di platform kenamaan itu. Ayah juga sangat menyukai karya sastra seperti puisi. Terkadang aku juga menikmati puisi-puisi ayah, meski aku tak selalu paham maknanya. Ayah tidak pernah marah kalau aku menatapnya dengan bingung.

Ayah sering juga menjelaskan makna puisi karyanya dengan sabar. Rupanya ini menurun pada Nadi. Nadi yang sejak kecil mendengarkan sajak-sajak yang dibacakan Ayah, lama kelamaan jadi penulis puisi. 

Kadang yang bikin kesal, curhatnya itu tidak kenal waktu. Apalagi kalau puisinya tidak dapat label dari editor. Seperti dunia runtuh buatnya. Suasana hati mendung, seisi rumah kena deh.

Tapi setiap kali kutanya alasannya, selalu tak ada jawaban dan aku hanya dicuekin. Menurut ayah, label dari editor membuat penulisnya merasa kalau tulisannya memenuhi standar platform tersebut. Meskipun begitu, Nadi sering dinasehati Ayah kalau menghargai karya sendiri jauh lebih penting dari pada sekedar mengejar label dari editor.

Nadi sih kelihatannya mengiyakan dengan anggukan. Namun kenyataannya, kalau Ayah masih sibuk bekerja di kantor, Nadi selalu saja menggalaukan dirinya dan curhat padaku kalau puisinya tidak dilabel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun