Mohon tunggu...
Ariati Dina Puspitasari
Ariati Dina Puspitasari Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Ibu dua anak yang suka belajar mengajar serta menelusuri hikmah dari suatu peristiwa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Ibu yang Profetik

22 Desember 2020   16:41 Diperbarui: 22 Desember 2020   16:47 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membicarakan tentang ibu bagi saya sebenarnya bisa kapan pun, namun karena hari ini 22 Desember adalah hari Ibu saya juga ingin ikut-ikutan dengan teman-teman yang lain untuk nimbrung membicarakan tentang Ibu di hari ini.

Sejatinya hari ibu adalah peringatan atas momen terselenggaranya kongres perempuan yang pertama di Indonesia. Peserta kongres tersebut membicarakan tentang posisi, potensi dan segala hal yang membahas tentang perempuan. Menurut Hajar NS di Ibtimes.id hari ini, apa yang dibicarakan dalam kongres tersebut masihlah relevan jika kita membicarakannya di masa sekarang.

Tulisan ini saya buat atas refleksi saya tentang perempuan dan karena saat ini adalah hari ibu, maka saya spesifik membicarakan tentang perempuan yang sudah menjadi ibu.

Agama mengajarkan kepada kita tentang bagaimana kita harus berbakti kepada Ibu. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kita  lebih utama untuk berbakti kepada Ibu. Saya meyakini bahwa perintah Rosullah SAW tersebut pasti memiliki makna yang sangat dalam. Saya sangat paham bagaimana seorang ibu mengandung bahkan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan. Belum selesai perjuangan ibu di sana karena ibu masih perlu menyusui.

Namun, beberapa waktu yang lalu saya dan mungkin pembaca juga pernah mendengar berita tentang ibu yang menganiaya sampai tega membunuh anaknya sendiri dengan berbagai cara. Hal ini bagi orang yang normal, pastinya sangat di luar nalar dan logika. Karena bagaimana bisa melupakan saat-saat memperjuangkan buah hati lahir ke dunia. Terlepas ada masalah ekonomi atau faktor pendukung lainnya untuk ibu tersebut berbuat aniaya, saya merasa bahwa kesehatan mental seorang ibu sangat perlu menjadi perhatian.

Nilai Profetik pada diri Ibu

Pribadi yang profetik menurut Kuntowijoyo adalah pribadi yang memiliki tiga hal yaitu humanis, liberasi dan transendensi. Humanis, adalah bagaimana kita bisa memanusiakan manusia dengan tetap menyandarkan pada nilai Ketuhanan. Liberasi adalah mengaktualisasikan diri untuk lepas dari belenggu ketertindasan. Sedangkan transendensi adalah nilai-nilai keimanan seseorang. Transendensi menjadi landasan atas nilai humanis dan liberasi.

Nilai profetik menjadi penting untuk menjaga kesehatan mental seorang ibu. Ibu yang memiliki nilai profetik ini akan terhindar dari gangguan kesehatan mental. Ibu yang memiliki kesehatan mental yang baik adalah ibu yang bisa mengontrol pikiran, perkataan dan tindakannya dalam segala situasi khususnya situasi yang menekan kejiwaannya. Ibu akan memahami posisi dan perannya di dalam rumah tangga. Ibu tidak stress atau depresi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Membentuk Ibu yang Profetik

Sebuah tulisan di media massa yang menuliskan hasil survey kepada 500 perempuan yang sudah menjadi ibu, hasilnya 92% mereka setuju bahwa menjadi ibu adalah pekerjaan terberat di dunia. 

Saya jadi teringat almarhum ibu mertua pernah menyampaikan bahwa untuk kita bisa mendapat gelar sarjana bahkan doktor yang mendukung sebuah pekerjaan ada sekolahnya, namun menjadi ibu  tidak ada sekolahnya. Lalu di mana seorang ibu harus belajar, terlebih belajar menjadi ibu yang profetik?

Pertama, pendidikan yang profetik. Dunia Pendidikan dalam hal ini adalah sekolah perlu menciptakan sebuah sistem pembelajaran yang profetik. Sedikitnya 6 jam waktu setiap anak dihabiskan untuk belajar di sekolah. Apabila sekolah sebagai pusat pembentukan karakter telah berhasil menerapkan Pendidikan yang profetik baik pada sistem manajemen sekolah maupun dalam sistem pembelajaran, maka setidaknya sejak dini karakter profetik akan melekat pada diri peserta didik.

Kedua, spirit profetik dalam pelatihan pra nikah atau kursus calon pengantin. Pemerintah melalui Kantor Urusan Agama (KUA) telah membuat adanya kursus calon pengantin atau biasa disebut suscatin bagi warga yang akan menikah. 

Maka spirit profetik seyogyanya perlu menjadi landasan pada materi yang diberikan bahkan pada proses pelaksanaaan kursus. Sehingga calon pengantin setidaknya dapat memiliki pengetahuan profetik yang harapannya dapat diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.

Ketiga, revitalisasi PKK. Setiap RT atau kampung biasanya memiliki perkumpulan ibu-ibu untuk melakukan berbagai aktifitas seperti PKK. Pada kegiatan tersebut biasanya diisi dengan sosialisasi kegiatan dan hal-hal terkait kebijakan di RT atau kampung setempat. 

Barangkali akan lebih indah dan bermakna bila dalam kegiatan tersebut diselingi dengan adanya parenting atau kajian tentang keluarga profetik. Dapat pula ditambah dengan adanya pos konseling yang bisa bekerja sama dengan puskesmas atau institusi yang memiliki layanan psikologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun