Mohon tunggu...
Ariasfjio
Ariasfjio Mohon Tunggu... Akuntan - Pembelajar politik

Belajar untuk bertanya dalam menulis. Terima kasih untuk yang membaca dan memberi nilai.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peringatan Hari Keramat Memuaskan Rasa Ingin Menang

3 Desember 2020   18:16 Diperbarui: 3 Desember 2020   18:37 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tagar JokowiTurun lagi trending di twitter. Para anti presiden Jokowi lagi menunjukkan perasaan di halaman media sosial sebagai perayaan hari yang bersejarah bagi mereka. Saat dimana mereka merasa hari itu adalah hari mereka satu satunya merasa pernah menang dari Jokowi.

Mereka menyerang Jokowi di segala lini media sosial hari ini. Hal yang wajar mereka lakukan karena tanpa selalu mengingat hari ini maka yang akan meerka ingat hanyalah kekalahan bertubi-tubi tanpa henti. Hari ini adalah satu-satunya hari dimana mereka merasa pernah menang. Tanpa mengingatkan eforia hari keramat ini, mereka takut akan dilupakan.

Pada banyak hari lain di mana tidak diperlukan masyarakat turun ke jalan maka mereka selalu kalah mendapatkan dukungan dari mayoritas masyarakat Indonesia. Tentu saja mereka tak pernah mengaku kalah, mereka bisa selalu berkata bahwa mereka adalah kebenaran. Dikalahkan oleh tindakan licik. Ah, samalah seperti presiden di negara sana yang hanya tahunya menuduh tanpa ada bukti.

Dapat dipahami bahwa para anti-Jokowi sangat peduli dengan hari keramat mereka. Memposting di media sosial milik mereka, menjelekkan presiden dan tindakannya seperti pengenangan dan kampanye bahwa mereka pernah meanng.

Asumsi implisitnya adalah bahwa postingan seperti ini akan merugikan Jokowi, di mana paling tidak orang tetap tahu bahwa mereka banyak dan besar walau jumlahnya sebenarnya hanya bealsan ribu twit yang tidak ada 0,1% pengguna twitter dari Indonesia. Dan juga tidak menujukkan bahwa mereka jumlahnya belasan atau puluhan juta seperti klaim para kelompok anti pemerintah. Jika jumlahnya seperti itu deengan data bahwa 10% penduduk Indonesia memiliki twitter maka 10% dari total populasi mereka harusnya ada sejutaan pengguna twitter.

Dengan demikian, pertanyaan kunci bagi kita yang menginginkan kedaan negara yang tentram adalah bagaimana menghadapi posting mereka. Banyak yang ragu dan memilih untuk berusaha mengikuti arus dan mengajukan pembelaan. Namun keadaan ini sebenarnya tidak perlu ditanggapi. Para pendukung setia yang masih bertahan adalah para garis keras. 

Mereka adalah orang-orang yang telah mendientifikasi diri sebagai martir dan pejuang. Tidak ada gunanya memberi pencerahan ataupun pernyataan karena tidak adanya lagi argumen yang bisa diterima. Tidak perlu untuk menyensor komentar negatif mereka karena takut reaksi publik akan menyakini bahwa mereka besar. Strategi utama adalah berdiri diam dan hanya menertawakan hayalan yang diberikan para anti Jokowi. Hal ini demi tidak menambah jumlah retweet yang bagaikan bensin yang akan menyalakan hayalan mereka.

Motivasi utama di balik ini adalah sebagai perayaan hari kebanggan mereka maka setiap tanggapan atau komentar terhadap ini adalah pengakuan dan menjadi peningkatan bagi pengakuan jati diri mereka. Pemberitaan negatif atas tindakan menanggapi tidak akan menjadi hal yang merugikan karena itu biaa menjadi sumber retweet meningkatkan tagar ini pada akhirnya.

Di satu sisi, tanggapan dan pertentangan hanya membuat mereka menjadi terkenal dan membantu mereka memperingati hari keramatnya. Para pendukung yang berjumlah lebih besar tentu saja tidak terpengaruh karena  memiliki identifikasi kuat dengan Jokowi dan tidak akan peduli. Pada masyarakat yang netral dan sudah lelah akan debat berkesudahan makin terbiasa tidak meperdulikann tweet kedua belah pihak maka hal ini tidak akan berpengaruh. .

Namun, bagi para anti-Jokowi yang jumlahnya sedikit sangat butuh pengakuan dan menujukkan jati diri. Motivasi dari twitter ini lebih seperti self-enhancement. Ini adalah pertunjukan membalas dendam atas pengalaman kekalahan berkali-kali yang menyesakkan.Ketika banyak pembelaan, mereka akan malah jadi seperti ditekan dan dibuly. Ketika mereka menujukkan kemenangan dan kekuasaan akan bisa memuaskan vanity mereka dan membuat mereka tenang dengan kepuasan kemenagan semu ini. Pertanyaannya adalah apakah mereka akan pernah lelah berteriak sesuatu yang tidak memiliki arti jika dibiarkan? Atau berapa kali kekalahan lagi baru lelah mengingat satu kali kemenangan ini? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun