Mohon tunggu...
Ariany Primastutiek
Ariany Primastutiek Mohon Tunggu... -

Saya adalah ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Cilacap, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lingkaran Emas Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Ibu

23 September 2012   02:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:53 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sumpah Pemuda :

PERTAMA.

KAMI PUTERA DAN PUTERI INDONESIA MENGAKU BERTUMPAH-DARAH YANG SATU, TANAH INDONESIA.

KEDUA.

KAMI PUTERA DAN PUTERI INDONESIA MENGAKU BERBANGSA YANG SATU, BANGSA INDONESIA.

KETIGA.

KAMI PUTERA DAN PUTERI INDONESIA MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.

Menurut sejarahnya, sumpah pemuda merupakan perwujudan dari rasa senasib sepenanggungan yang dirasakan oleh para pemuda dari seluruh nusantara. Mereka berkumpul guna melandaskan rasa persatuan demi meraih kemerdekaan. Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa menjadi alat pemersatu yang kokoh. Setidaknya beitulah harapan yang tersirat dalam bunyi sumpah pemuda yang konon selalu dibacakan di muka rapat atau perkumpulan-perkumpulan mereka. Napas persatuan yang menggema dalam setiap bait sumpah pemuda selalu mampu menggetarkan hati rakyat Indonesia. Bahkan bisa dibilang hampir seluruh rakyat Indonesia hafal atau minimal pernah mendengar karena hingga saat ini masih menjadi salah satu materi pelajaran sejarah di sekolah. Meski begitu, hanya segelintir orang yang mampu mengamalkan makna sumpah pemuda. Lihat saja bagaimana penuhnya pemberitaan di media tentang perselisihan yang bukan saja melibatkan remaja yang notabene pemuda harapan bangsa, namun lebih dari itu pertikaian antar kampung, permusuhan yang disebabkan oleh keyakinan, hingga berujung pada penganiayaan sekaligus tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Perasaan senasib sepenanggungan seolah hilang tak berbekas. Akhirnya sumpah pemuda benar-benar hanya menjadi sejarah.

Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Salah satu bunyi sumpah pemuda itu seolah mengumumkan bahwa pemersatu rakyat Indonesia dari barat sampai timur, utara sampai selatan adalah bahasa Indonesia. Ya, kita yang di Jawa tentu kesulitan jika diminta berbahasa Sunda. Mereka yang ada di Jawa Barat tentu saja lidah mereka tak terbiasa dengan bahasa Minang. Begitupun sebaliknya. Bahasa Indonesia merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung dari segenap perbedaan yang ada. Seharusnya begitu. Buktinya pelajaran bahasa Indonesia bahkan masuk dalam daftar ujian nasional ddari tingkat SD sampai SMA. Bahkan soal-soal guna menembus perguruan tinggi negeri juga tak jauh dari pelajaran bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa setiap rakyat Indonesia sudah seharusnya bisa bahasa Indonesia. Namun kenyataannya bahasa Indonesia lebih popular di kota daripada di desa. Bahkan bahasa Indonesia menjadi bahasa mewah bagi mereka yang tinggal di perkampungan.

Sebagai perawat, saya pernah menemui kendala dalam berbahasa Indonesia. Suatu hari bangsal saya menerima pasien baru yang berdomisili di dekat perbatasan cilacap dan ciamis. Penduduk di sana rata-rata menggunakan bahasa sunda dalam pergaulannya. Dengan semangat bahwa bahasa Indonesia adalah alat pemersatu puls keyakinan bahwa semua rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia, dengan penuh percaya diri mulailah saya menanyakan keluhan pasien tersebut hingga harus dirawat di rumah sakit dengan bahasa Indonesia, karena saya sama sekali tak menguasai bahasa sunda. Namun, si pasien yang notabene adalah tiyang sepuh (orang yang sudah tua), hanya menunjukkan ekspresi bingung sambil berkata sesuatu dalam bahasa sunda. Akibatnya saya dan si pasien sama-sama terjebak dalam kebingungan berbahasa. Dalam hati saya mencoba menerka mengapa komunikasi kami tidak nyambung. Setelah datang putra dari si nenek yang mengatakan bahwa ibunya tidak bisa bahasa Indonesia, kini giliran saya yang melongo. Mendapati kenyataan yang diluar perkiraan. Hingga si nenek pulang dari rumah sakit, anak-anaknya secara bergantian menjadi penerjemah.

Begitulah potret bahasa kita meski dia bergelar bahasa persatuan. Seperti yang sudah saya katakan, bahasa Indonesia masih merupakan barang mewah bagi masyarakat yang tinggal jauh dari kota. Dampaknya pun sangat terasa. Saya ingat ketika saya kecil, saya dan keluarga berlibur ke Pulau Dewata. Ibu saya yang orang Jawa tulen tentu saja tak bisa berbahasa layaknya orang Bali, sehingga beliau menggunakan bahasa Indonesia. Beliau sedikit kaget ketika ternyata harga sayuran di pasar lokal dua kali lebih mahal, seorang tetangga kontrakan yang mengatakan hal itu. Mungkin karena si penjual meyakini ibu saya -yang berbicara dalam bahasa Indonesia- adalah orang dari luar kota dengan tingkat ekonomi atas sehingga dengan mudah si penjual dengan mudah memahalkan harga dagangannya. Benar saja ketika ibu tetangga kontrakan mengajak ibu saya berbelanja di pasar yang sama harganya jauh lebih murah. Perbedaannya, ibu saya menggunakan bahasa Indonesia dan tetangga kami itu menggunakan bahasa lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun