Terdapat kesenjangan pengetahuan atau knowledge gap antara pasien (masyarakat) dan tenaga kesehatan. Bagi masyarakat, semakin banyak pemeriksaan penunjang yang dilakukan akan semakin banyak diagnosis yang akan diperoleh. Padahal, tidak seluruh penyakit memerlukan pemeriksaan penunjang.Â
Sesuai nama yang diberikan, pemeriksaan penunjang hanyalah pemeriksaan yang bersifat menunjang. Jika suatu diagnosis sudah cukup dapat ditegakkan dengan evaluasi klinis oleh klinisi, apa artinya pemeriksaan penunjang?
Di lapangan, banyak dari masyarakat merasa tidak diperiksakan apa penyakit yang sedang dialaminya, jika tidak diambil sampel darah misalnya. Seorang ibu membawa anak laki-lakinya dengan batuk pilek sejak dua hari yang lalu disertai demam lemeng dengan dahak berwarna bening dan masih bisa makan minum seperti biasa. Dokter menghampirinya dan bertanya tentang perjalanan sakitnya, melihat warna sekret yang keluar dari hidungnya, melihat tenggorokannya, dan lalu menempelkan stetoskop pada dadanya, mendengar ada bunyi apa di paru-parunya. Setelah menyelesaikan seluruh anamnesis runtutnya dan pemeriksaan fisiknya secara teliti, sang dokter lalu menyampaikan bahwa anak tersebut menderita batuk pilek karena virus. Ibunya mengangguk, terdiam sejenak, lalu ia bertanya, "Anak saya tidak diperiksa darahnya ya Dok?"
Dokter tersebut lalu mencoba menjelaskan bahwa cukup dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, ia sudah tahu bahwa itu adalah infeksi saluran nafas yang mungkin karena virus, tidak memerlukan antibiotik, cukup dengan obat-obatan suportif terkait demam dan batuknya, dan yang paling penting ialah makan minum yang cukup. Sayangnya, ibu tersebut merasa masih tak puas jika tidak dicek darah.
Evaluasi klinis atau penilaian klinis merupakan fondasi utama dalam menentukan diagnosis seorang pasien yang lalu menentukan manajemen penyakit yang dialami pasien. Melakukan pemeriksaan penunjang tanpa indikasi justru hanya dapat menimbulkan overdiagnosis, pemborosan biaya, dan kecemasan yang tidak perlu.
Membangun kepercayaan masyarakat terhadap evaluasi klinis kemudian menjadi sangat penting. Upaya membangun kepercayaan ini tentu tidak hanya mengandalkan kompetensi tenaga medis saja, namun juga kemampuan komunikasi yang baik dalam menyampaikan hasil evaluasi klinis yang telah dilakukan.Â
Dokter perlu menjelaskan secara sederhana namun meyakinkan dengan bahasa yang paling mudah dipahami bagi masyarakat awam, mengapa suatu pemeriksaan tidak diperlukan, serta bagaimana kesimpulan medis diambil berdasarkan temuan klinis. Edukasi ini dapat dilakukan secara langsung saat konsultasi, melalui media sosial medis, atau kampanye kesehatan.
Sistem pelayanan kesehatan yang baik pun kiranya harus mendukung. Dalam situasi pelayanan yang terburu-buru atau birokratis, pasien cenderung merasa tidak diperhatikan. Dengan kata lain, waktu konsultasi yang cukup, sikap empati yang ditunjukkan oleh tenaga kesehatan, serta keterbukaan dalam menjawab pertanyaan pasien akan meningkatkan rasa percaya dan kepuasan mereka terhadap pelayanan yang diberikan.
Pada akhirnya, kepercayaan terhadap evaluasi klinis tidak bisa dibangun dalam satu kali pertemuan. Ia tumbuh dari akumulasi pengalaman positif pasien dengan tenaga kesehatan.Â
Ketika pasien merasa didengar, dihargai, dan dijelaskan dengan jelas, maka mereka akan lebih mudah menerima bahwa penilaian klinis tanpa pemeriksaan tambahan pun dapat diandalkan.