Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pasien Renta yang Mengantre Lama

4 Januari 2023   13:05 Diperbarui: 5 Januari 2023   05:00 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrean panjang di RSUD Depok, Sawangan, Depok, Jumat (4/1/2019).(KOMPAS.com/ CYNTHIA LOVA)

Masalah waktu tunggu pada fasilitas kesehatan adalah topik yang telah lama dibahas pada pelayanan kesehatan. Aktivitas menunggu pada fasilitas kesehatan tentu saja berbeda dengan aktivitas menunggu pada fasilitas-fasilitas non-kesehatan.

Isu terkait waktu tunggu berdampak pada pemeriksaan kesehatan hingga pemberian pengobatan yang sering kali harus berujung ditunda, dan tak menutup kemungkinan membuat pasien harus menerima kenyataan bahwa status kesehatannya semakin memburuk setiap harinya, bahkan hingga kematian yang mungkin saja mengincarnya.

Para pasien dengan pancaran penuh pengharapan dan optimisme pada masing-masing mata mereka mengingat janji-janji pemerintah untuk memberikan hak atas akses menuju layanan kesehatan, termasuk di dalamnya akses terhadap durasi waktu tunggu yang seharusnya merupakan waktu tunggu ideal yang mampu memberi kenyamanan kepada pasien. 

Dengan maksimum waktu tunggu yang mengikuti ideal, pasien tak seharusnya mendapat 'penyakit tambahan' akibat menunggu dalam antrian rawat jalan atau rawat inap yang terlalu lama.

Menunggu tentu saja bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, dikarenakan produktivitas terhadap hal-hal lain yang seharusnya dapat dilakukan adalah biaya oportunitas atau biaya kesempatan.

Di antara pasien-pasien yang menunggu lama tersebut, terdapat seorang ayah yang merupakan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga dengan riwayat penyakit jantung koronernya yang bertutur telah pasrah dalam antrian panjang untuk pemasangan ringnya. 

Terdapat seorang anak laki-laki pemenang pekan olahraga yang menunggu pelayanan rehabilitasi medik rutin yang ia harapkan dapat mengembalikan kekuatan kaki-kakinya, namun pelayanan tak rutin dilakukan setiap minggunya karena harus berbagi dengan pasien lain yang juga memerlukan pelayanan yang sama. 

Terdapat seorang ibu dengan kaki diabetes yang menunggu pengaturan dosis untuk pengobatan insulinnya yang terlihat berulang kali memeriksa telepon genggamnya dan membaca pesan dari anaknya yang bertanya apakah sang ibu masih menunggu lama. Terakhir, seorang pasien renta yang tetap melengkungkan ujung-ujung bibirnya sambil menyapa pasien dan para penunggu pasien di sekitarnya.

Baginya, menunggu lama adalah pengalaman yang membuat gembira karena dapat berbincang dengan orang sekitar sambil menceritakan masa lalunya yang berjaya dan berharap dapat mengusir kesendiriannya. Tanpa disadari, tubuhnya semakin ringkih, untungnya jiwanya masih menyala.

Terdapat begitu banyak faktor yang berkontribusi terhadap lamanya waktu antrian dalam sistem pelayanan kesehatan yang tak terbatas hanya pada latar rawat jalan, namun juga pada rawat inap, ruang operasi, farmasi, dan lain sebagainya. 

Faktor seperti kurangnya jumlah dokter spesialis sehingga satu orang spesialis harus menangani ratusan pasien dalam satu hari, administrasi yang masih dalam bentuk manual (non-digital) yang mengambil cukup banyak porsi waktu, hingga jumlah pasien sendiri yang menumpuk begitu banyak akibat tingginya angka rujukan pasien ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, yang jumlahnya tentu saja tak sebanyak fasilitas kesehatan tingkat primer. 

Pemerintah dan masyarakat harus sama-sama menyadari bahwa permasalahan ini bukanlah tugas dari salah satu pihak saja. Semua harus turut bergotong royong untuk mengatasi permasalahan ini yang sudah begitu lama. 

Pengadaan dokter spesialis secara masif tentu saja merupakan salah satu jawabannya, terutama dokter-dokter spesialis di daerah yang jumlahnya masih begitu banyak kurangnya. Namun, tentu saja tak boleh dilupakan bahwa kuantitas harus diiringi oleh kualitas. 

Pemberian beasiswa baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk para dokter merupakan langkah yang tak boleh tertinggal dalam usaha pengadaan tersebut. Tak boleh ada satu pun daerah yang mengeluh kekurangan dokter spesialis jika daerah tersebut tak berinvestasi pada pengadaan dokter spesialis melalui beasiswa. 

Sisanya, masyarakatlah yang mengemban tugas untuk rutin memeriksakan kesehatan sebelum kondisinya menjadi tak tertahankan, alias tak dapat ditangani di fasilitas kesehatan tingkat primer, dan berujung menyumbang penumpukan pasien pada fasilitas kesehatan tingkat sekunder dan tingginya angka antrian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun