Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hubungan Asimetris Pasien dan Dokter

8 Desember 2022   20:07 Diperbarui: 9 Desember 2022   07:37 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter melakukan pemeriksaan kesehatan pada pasien.| Kompas.com/MITA AMALIA HAPSARI

"Apakah dapat dipahami bapak/ibu penjelasan saya sejauh ini?" 

Kira-kira itulah kalimat penutup yang biasa diucapkan oleh para dokter maupun tenaga-tenaga kesehatan lainnya dalam setiap edukasi yang diberikan kepada pasien ataupun kepada wali dari pasien terkait tindakan medis yang akan mereka lakukan. 

Mengenai pertanyaan itu, beberapa kemudian akan membalas bertanya terkait hal-hal yang belum mereka pahami dan beberapa akan mengangguk sambil berkata bahwa mereka paham. 

Pada praktiknya, pasien dan wali dari pasien yang mengangguk tak seluruhnya sama. Ada dari mereka yang memberikan anggukan sebagai isyarat bahwa ia benar memahami segala rincian terkait penyakitnya dan tindakan medis yang hendak dilakukan kepadanya. 

Ada pula anggukan yang diberikan karena ia memahami bahwa dokter lah yang paling tahu yang terbaik untuk pasiennya, walau ia sesungguhnya tak memahami penyakit apa yang ada di dirinya dan intervensi apa yang dilakukan terhadap tubuhnya. 

Hubungan paternalistik, itulah sebutan untuk hubungan dokter dan pasien di mana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan mampu untuk mengobati atas penyakit yang diderita oleh pasien. Hubungan tersebut tentu saja adalah hubungan yang asimetris. 

Hubungan yang tidak melibatkan partisipasi yang seimbang oleh kedua pihak. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh karena dokter memiliki pengetahuan serta kemampuan teknikal yang superior dan pasien adalah awam. 

Masalah tersebut harusnya dapat diselesaikan melalui solusi berupa diskusi dua arah antara dokter dan pasien. Pasien aktif menanyakan apa yang belum ia pahami dan dokter pun secara aktif menanggapi. Nyatanya, berbagai faktor di lapangan berkontribusi terhadap solusi yang terlihat sederhana tersebut.

Salah satu faktor yang berkontribusi adalah latar belakang pendidikan. Hal tersebut saya rasakan saat saya bertugas di Puskesmas di sebuah kecamatan baru hasil pemekaran. 

Awalnya Puskesmas ini berstatus terpencil. Sekarang sudah menjadi Puskesmas daerah pedesaan. Hampir tak pernah ada pasien yang berkata tak paham dari setiap edukasi yang saya berikan. Padahal, sering kali, edukasi yang saya berikan adalah edukasi yang lumayan panjang. 

Saya berharap paling tidak ada satu pertanyaan saja yang pasien tanyakan. Untuk itu, beberapa kali akhirnya saya mencoba melakukan post-test atau semacam kuis yang saya lemparkan kepada pasien agar pasien merangkum apa saja yang sudah saya jelaskan. 

Rata-rata, pasien maupun wali pasien tidak mampu memberikan jawaban yang benar terhadap kuis yang saya berikan. 

"Tadi mengapa mengangguk bu?" Saya bertanya penasaran. 

"Ternyata ibu belum paham, padahal ini saya mau otak-atik badan ibu, lho." 

Saya melanjutkan pertanyaan saya dengan sedikit teguran dengan tetap melempar senyum untuk mengisyaratkan bahwa teguran ini hanya dimaksudkan untuk menyadarkan mereka agar tak pernah enggan untuk bertanya dan sebuah tanda betapa saya begitu menyayangi pasien beserta kehidupannya yang berharga.

"Dokter yang paling tahu dok. Saya tidak mengerti apa-apa. Saya ikut yang terbaik menurut dokter saja." Itulah jawaban yang paling sering saya terima dan jawaban yang sebenarnya sudah saya duga sebelumnya. 

Namun, walau rata-rata jawaban pasien hampir serupa dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada saya dan rekan-rekan tenaga kesehatan lainnya, menuntaskan tanggung jawab untuk selalu memberikan edukasi sejelas mungkin dengan bahasa yang paling sederhana adalah sebuah kewajiban bagi saya. 

Pada akhirnya, gap atau jarak antara dokter dan pasien harus dihilangkan. Tak boleh ada satu pun pasien yang enggan bertanya. Setiap individu memiliki hak atas akses menuju kesehatan, termasuk di dalamnya ialah hak untuk bertanya terkait segala kondisi yang mempengaruhi kesehatannya. 

Begitu pula dengan dokter. Tak boleh ada satu pun dokter yang malas untuk menjelaskan. 

Jika dokter hanya memeriksa lalu meresepkan tanpa menjelaskan, kiranya lebih baik untuk pasien pergi ke toko obat saja alih-alih ke dokter yang hanya memperlakukan pasien sebagai objek pemeriksaan. 

Padahal pasien adalah subjek atau persona, di mana pasien adalah pribadi yang memiliki kesadaran, aspirasi, dan perasaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Szazs dan Hollender pada tahun 1997 dan sebagaimana pemikiran Maurice Merleau-Ponty atas tubuh pasien sebagai "lived-body" yang mengantarkan kita menuju paradigma bahwa pasien tidak sekadar objek yang bisa dipahami dari luar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun