Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sebuah Survival Game pada Sistem Pelayanan Kesehatan Primer

23 Juni 2022   20:07 Diperbarui: 23 Juni 2022   20:09 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Suatu hari seorang pasien dengan penyakit diabetes mellitus (DM) tipe I atau ialah kondisi ketika kadar gula atau glukosa dalam darah naik melebihi batas normal akibat pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang cukup bagi tubuh, datang ke ruangan pemeriksaan saya untuk seperti biasa katanya meminta surat rujukan ke fasilitas kesehatan sekunder yakni RSUD untuk kontrol dan mengambil insulinnya. Sembari menuliskan surat rujukan, saya melontarkan pertanyaan kepada pasien:

"Ada yang mau ditanyakan mas?"

"Hmm.. apa ya dok.." "Oh, mau tanya dok, sampai kapan ya saya harus suntik insulin terus? Saya bosan."

Aku terdiam, menghela nafas, lalu langsung melanjutkan melemparkan senyuman sebagai sebuah pembuka dari jawabanku yang akan lumayan panjang. 

Aku jelaskan kepada pasien, bahwa keadaan DM tipe I adalah keadaan dimana pasien kekurangan insulin secara absolut, yang mana artinya jumlah insulin di dalam tubuh memang tidak cukup untuk mengontrol gula dalam darah agar bisa masuk ke dalam sel, sehingga sebagai implikasinya gula dalam darah akan naik melebihi batas normal. Insulin mau tidak mau menjadi terapi yang harus terus ditekuni pasien sepanjang hidupnya. 

"Sebenarnya ada harapan untuk bisa lepas dari insulin, Mas, yakni dengan mengganti si 'mesin penghasil insulin' tersebut yakni si pankreas. Di luar negeri sudah berkembang teknologi cangkok pankreas. Namun di Indonesia belum." Kulanjutkan penjelasanku.

Percakapan ku di hari itu lagi-lagi membuat perasaan ku sepulang dari berjaga di poli umum menjadi berkecamuk dan membuat semakin banyak hal yang berputar-putar di kepalaku. Suatu ironi saat aku mencoba menjelaskan terkait teknologi transplantasi organ-organ kepada masyarakat desa di saat bahkan alat-alat pemeriksaan dasar dan obat-obat esensial saja sering tak tersedia di Puskesmas-puskesmas seluruh Indonesia. 

Tak jarang ku mendengar alat-alat yang seharusnya ada di Puskesmas seperti yang telah disyaratkan secara rinci melalui Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tak tersedia di lapangan hingga menghambat proses diagnosis penyakit pasien yang seharusnya sudah dapat didiagnosis di tingkat layanan primer dantentu tidak perlu hingga dilakukan rujukan ke layanan sekunder hanya karena alat esensial yang seharusnya ada namun tak tersedia. Atau cerita tentang obat-obat yang seharusnya ada di troli emergensi (kegawatdaruratan) seperti misal obat-obat saat pasien kejang yang tak tersedia. Atau sekedar obat parasetamol pereda nyeri sekaligus penurun panas yang hampir menjadi keluhan mayoritas orang lenyap tak bersisa. 

Sehingga tak jarang kita mendengar berita pasien-pasien yang akhirnya harus membeli obat dari luar Puskesmas dan tentunya harus mengeluarkan kocek sendiri dari kantongnya. Lalu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang kita harapkan dapat menjamin kesehatan secara menyeluruh, pada akhirnya hanya menjamin setengahnya, atau seperempatnya, atau bahkan seperdelapannya. 

Jika obat esensial yang seharusnya ada di Puskesmas tak tersedia, pertanyaannya adalah kita harus menyalahkan siapa? Haruskah kita menyalahkan ibu-ibu yang membawa anaknya yang kejang pergi ke Puskesmas padahal hatinya sudah tak karuan dan sudah bercucuran air mata, dan meminta jika anaknya kejang untuk langsung dibawa sendiri saja ke rumah sakit yang jaraknya puluhan kilometer dari rumahnya?

Atau tegakah kita meminta seorang nenek yang sudah sakit sekali kepalanya untuk membeli obat pereda nyeri dengan uangnya sendiri, walau dalam hemat kita obat yang dimaksud adalah obat yang sangat murah bin terjangkau harganya, tapi apakah murah bagi kita adalah murah juga bagi mereka? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun