Mohon tunggu...
Rafli Siru
Rafli Siru Mohon Tunggu... Lainnya - suka minum kopi, makang pisang goreng, suka bajalang deng suka pa ngana.

ig: raflisiru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandangan Terbelah Mengenai "Cinta"

13 Juli 2020   18:50 Diperbarui: 13 Juli 2020   18:52 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sigmund Freud dan Alfred Kinsey mempunyai pandangan serupa dengan Hobbes, yakni cinta sebagai gejala biologis. Freud yang menjadi pioner psikologi modern membasiskan cinta pada hasrat libidinal (libido). Bagusnya, libido adalah insting hidup manusia, namun kurangnya, ini mengembalikan pengertian cinta sebagai kenikmatan semata, dan kenikmatan berbeda dari kesenangan: kenikmatan selalu menjadi kompensasi atas sesuatu. 

Berbagai bentuk kenikmatan, termasuk di dalamnya (ber)cinta, selalu bisa dijelaskan lewat tahapan-tahapan phallic atau psikoseksual menurut Freud; fase oral, fase anal, fase phalik, fase laten, dan fase genital. Bahkan seseorang yang merokok misalnya, secara freudian bisa dianggap sebagai orang yang merindukan puting ibu (fase oral). Dan apabila ia telah memiliki pasangan---bisa juga tidak---itu bisa digantikan lewat berciuman. 

Alfred Kinsey, seorang biolog Amerika Serikat, mendaulat cinta sebagai dorongan seksual. Bahkan baginya, kenikmatan puncak yang bisa diperoleh lewat pertemuan dua lawan jenis hanyalah melalui hubungan seksual. Dalam kamus Kinsey, kita akan sulit menemukan penghormatan dan perlindungan antarmanusia karena cinta, kalaupun ada, penghormatan dan perlindungan itu hanyalah selubung atau "topeng halus" untuk menyembunyikan hasrat liar seksual yang sesungguhnya. 

Dengan demikian, kita pun tak akan menemui konsep cinta atau hubungan seksual yang sakral dalam pandangan Kinsey; bahwa hubungan seksual adalah upaya memiliki keturunan, representasi dari kemurnian cinta, tabu jika dilakukan sembarangan, usaha untuk membangun keluarga, dan lain sebagainya; karena bagi Kinsey, dorongan seksual yang mewujud dalam cinta adalah hasrat paling liar dan terprimitif manusia yang kini sekadar terbalut oleh "aturan-aturan" kebudayaan---sehingga melahirkan beragam tafsir.

Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre memandang cinta dengan penuh prasangka. Ia menganggap cinta sebagai penindasan halus, pengobyekkan terhadap manusia, bahkan ia mendaulat seseorang yang jatuh cinta sesungguhnya "terjebak" pada dunia orang lain. Bagi Sartre, kecintaan seseorang terhadap orang lain menandai kegagalan dirinya mempertahankan diri sebagai subyek. 

Dengan mencintai orang lain, ia memiliki konsekuensi berhadapan dengan tuntutan-tuntutan dalam cinta. Dari sini, cinta pun rentan mentransformasi dirinya menjadi hasrat untuk memiliki. Jika telah demikian, maka salah satu pihak akan dikorbankan; menjadi benda, obyek; yang pasrah "ditindak". 

Tak hanya itu saja, Sartre menganggap hubungan seksual sebagai pereduksian manusia sebagai 'daging' semata. Hal ini sebagaimana ungkapnya: "Hasrat selalu gagal menemukan diri sebagai subyek". Jacques Derrida, filsuf yang kerap ditasbihkan sebagai salah seorang pemikir posmodernis, memiliki pandangan yang unik mengenai cinta. 

Baginya, orang yang jatuh cinta adalah "narsis". Mengapa? Karena orang yang jatuh cinta selalu memerlukan perhatian, bahkan pemujaan dari orang yang dicintainya. Inilah mengapa, orang yang jatuh cinta sesungguhnya tidak sedang mencintai orang lain, tetapi dirinya sendiri. 

Begitu pula, jika kita menggunakan perspektif dekonstruksionis Derrida, kesempurnaan cinta menjadi hal yang langka. Berpijak pada kritiknya terhadap Marcel Mauss tentang konsep potlatch 'pemberian cuma-cuma', diungkap oleh Derrida bahwa "ucapan terima kasih" pun telah menggugurkan pemberian. 

Ini artinya, seseorang yang mencintai orang lain, dan berharap cintanya dibalas, sesungguhnya telah menggugurkan cintanya pada orang itu. Karena mencintai adalah mencintai, tak harap berbalas, sekalipun orang yang dicintai bertindak jahat dan menolaknya: mencintai tetaplah mencintai.

Pandangan Optimis tentang Cinta
Rousseau dianggap banyak pihak sebagai pencetus aliran pemikiran romantis (romantisme). Romantisme Rousseau meyakini bahwa pada hakikatnya setiap manusia terlahir baik, jujur, penuh cinta dan kasih sayang. Apabila manusia menjadi yang sebaliknya, Rousseau mendakwa masyarakatlah yang bertanggung jawab karena "merusaknya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun