Segera kususul Arumi ke dalam rumah dan meraih tangannya. Lalu aku berlutut di hadapannya sambil memegang bahunya dan menatap matanya lekat-lekat, kemudian bertanya dengan nada serius.
"Arumi, kamu tadi ngobrol dengan siapa, Sayang? Mama gak melihat ada siapa-siapa di sana."
"Kan sudah aku jawab, Mama. Ngobrol sama tante dan adik kecil. Masak Mama gak lihat, sih?"
Arumi menepis kedua tanganku kemudian berlari kembali ke arah pintu belakang. Dia buka pintu itu.
"Tuh, Mama lihat! Tante dan adik kecil itu masih di sana, loh, Ma. Masak Mama gak lihat sih? Itu loh, Ma. Tante itu pakai baju putih, rambutnya panjang, adik kecil pakai baju hitam, rambutnya juga panjang."
"Kasihan loh, Ma. Tante itu kayaknya sakit. Mukanya pucat. Ngomongnya pelan sekali. Bajunya kayak ada darah-darah gitu deh, Ma. Tadi tante itu ngajak aku ikut dengannya. Katanya supaya adik kecil ada teman bermain."
"Trus, Arumi jawab apa?" Tanyaku cemas.
"Aku bilang, aku gak bisa. Aku kan punya Adik juga di rumah. Aku juga bilang, mamaku pasti gak bolehin."
"Trus, apa kata tante itu?"
"Tante itu bilang, dia dan adik kecil akan terus menunggu di pohon itu. Dia minta aku besok main lagi ke sana."
Aku makin merinding. Tapi kemudian mencoba berpikiran positif saja. Kata orang, biasa kok, anak kecil begitu.