Saya buka tas paspor mau mengambil charger. Ternyata charger sudah tidak ada! Astaghfirullaah ... saya pasti sudah berbuat salah, nih," batin saya. Saya kembali teringat wejangan-wejangan sebelum berangkat.
Saya evaluasi diri. Apa kesalahan saya hingga langsung dapat teguran begini?
Mungkin si Arab tadi dalam hatinya menganggap saya bohong. Dia mengartikan lambaian tangan saya itu sebagai pernyataan bahwa saya tidak punya charger. Padahal, dia melihat sendiri saya memasukkan charger ke dalam tas paspor.
Mungkin juga ini teguran karena saya "pelit". Hanya sekedar charger saja tidak mau meminjamkan, gimana mau bersedekah atau membantu meringankan beban sesama Muslim lainnya? Atau bisa jadi orang Arab tadi bukan manusia, tapi malaikat yang sedang menguji saya. Entahlah ... saya tidak bisa segera menyimpulkan kejadian tadi. Saya kembali beristighfar dan shalat sunat dua rakaat. Memohon ampun jika saya memang telah melakukan kesalahan.
Kejadian kedua. Hingga 10 hari berada di Makkah, saya hampir tidak pernah, maaf, buang air besar. Kalaupun sesekali ke belakang, veses saya sangat sedikit. Cuma berbentuk bulatan-bulatan kecil seperti kotoran kambing.
Meskipun tidak ada keluhan sakit, saya heran, kenapa bisa begitu? Padahal, tiap hari saya selalu makan banyak, supaya tidak jatuh sakit. Semua jatah makanan dari penyelenggara haji selalu saya habiskan. Bahkan masih saya tambah dengan makanan yang dibeli sendiri. Saya juga banyak makan buah dan selalu minum air zam-zam sepuas-puasnya. Tetapi, kenapa saya jarang BAB? Kemana ampas makanan yang masuk ke tubuh saya sebanyak itu? Demikian saya mempertanyakan dalam hati.
Setelah mempertanyakan seperti itu, keesokan paginya saya mengalami mencret-mencret hebat, sehingga sama sekali tidak bisa ke mesjid. Karena sebentar-sebentar harus ke belakang.
Astaghfirullaah ... saya kembali tersadar. Saya pasti sedang kena tegur karena mengeluh. Harusnya justru bersyukur. Karena, meski susah BAB, toh saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Tidak sembelit, tidak kembung, juga tidak merasakan sakit apapun. Bahkan, bisa jadi semua yang saya makan itu menjadi energi, sehingga yang terbuang sebagai ampas hampir tidak ada.
Kembali saya banyak-banyak beristighfar dan sholat sunat taubat. Akhirnya, setelah 3 hari, saya tidak mencret-mencret lagi. Benar ternyata. Kesalahan langsung "dibayar tunai" di tanah haram ini.
Kejadian ketiga. Kali ini bukan menimpa saya, tapi teman sekamar. Hari pertama sampai di Makkah, dia sudah kehilangan HP. Padahal HP itu baru saja dia beli beberapa hari sebelum berangkat dari Indonesia. Saat sampai di hotel setelah menempuh perjalanan bus dari Bandara Jeddah ke Makkah, dia tersadar bahwa HP nya sudah tidak ada. Keesokan harinya dia terpaksa membeli HP baru lagi di kawasan Zam-Zam Tower.
Setelah mendengar cerita pengalaman saya yang kehilangan charger, diapun mengevaluasi diri. Dia berpikir, pasti dirinya juga punya kesalahan sehingga dapat teguran kehilangan HP. Setelah merenung sejenak, diapun menyadari apa kesalahannya itu.