Mohon tunggu...
Mr. aBc
Mr. aBc Mohon Tunggu... Guru - Salam Gloria

🔛🖋️📝🖋️Goresan artikel sederhana. Mencoba berjiwa dan bersemangat sebagai guru muda. Di Era New Normal. Proses mencari dan menjadi inspirasi✍️ Sahabat Literasi: SMPK Santo Mikael - Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malam Satu Sura di Surabaya

20 Agustus 2020   02:33 Diperbarui: 20 Agustus 2020   09:27 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Malam Satu Sura (Sumber: pixabay.com)

Manusia yang memiliki pusaka paling berharga "hati", yang senantiasa harus selalu dijaga dan dibersihkan dari hal-hal yang tidak baik, agar bisa menjalani hidup dengan bahagia dan mampu memberikan kebahagiaan bagi orang lain.

Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro dimana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah, karena kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).

Satu Sura biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu Sura, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Satu Sura memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap keramat. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu Sura dilarang untuk ke mana-mana, kecuali untuk berdoa atau melakukan ibadah lain.

Sore hingga malam satu Sura tadi, karena ada hal yang harus kami lakukan, maka dengan naik sepeda motor kami bertiga meluncur menuju kota Surabaya, tidak lupa untuk berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan selama perjalanan. Sambil menikmati suasana malam, dan gemerlap lampu masih dalam nuansa HUT RI ke 75. Sampai di tempat yang kami tuju, hasilnya nihil ternyata tempat tujuan kami sudah tutup. Nah, menempuh perjalanan satu jam, tanpa hasil. Apa karena sesuai pesan di atas "pada malam satu Sura dilarang untuk berpergian".

Perjalanan kemudian kami lanjutkan, melewati jantung kota Surabaya. Kami melihat banyak kerumunan orang-orang, yang ternyata sedang menikmati hiburan wayang kulit, dan band. Lakon/cerita wayang kulit tidak kami ketahui, demikian juga dengan lagu-lagu yang ditampilkan di panggung band lesehan, juga belum sempat kami dengarkan. Ingin rasanya untuk berhenti, mencari tempat parkir, lalu ikut menikmati dua pertunjukan malam ini. Namun hati kecil berkata lain, suara perut juga mengatakan hal yang sama, jangan berhenti terus saja. Akhirnya kami teruskan perjalanan malam ini, untuk mencari menu makan malam. Pilihan makan malam kami jatuh pada ikan bakar favorit yang lokasinya lumayan jauh. Setelah melaksanakan ritual makan malam bersama, setelah sekian lama terpaksa ditahan karena kondisi masih belum memungkinkan, akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, dengan selamat dan perut kenyang.

Sampai di rumah, ingatan kembali mengajak pulang ke kampung halaman, di Lampung Tengah. Semasa kecil dulu, jika malam satu Sura, ada tradisi kenduri (genduren), doa bersama, yang dilaksanakan di perempatan jalan desa, sambil lesehan. Sungguh menyenangkan, bisa mengalami tradisi tersebut. Setelah doa bersama selesai, dilanjutkan dengan menikmati bersama sajian makanan yang dikirim oleh masing-masing keluarga. Kemudian makanan tersebut disajikan, untuk dibagikan dan dinikmati bersama. Tanpa pilih kasih, tanpa melihat ini kiriman dari siapa.

Seringkali tingkah nakal dan lucu kami yang masih anak-anak, tanpa disadari otomatis beraksi. Karena suasana yang agak gelap, dan perut sudah lapar, ketika masih dalam suasana doa bersama, tangan kecil kami bergerilya diantara wadah/tempat makanan (takir/besek) kami menyebutnya. Tangan-tangan nakal kami mencari paha ayam dalam kegelapan, meskipun terkadang yang kami temukan adalah telur rebus atau telur dadar. Maafkan kami, kenakalan kami dulu, sehingga terpaksa ada yang kebagian berkat makanan yang lauknya hilang.

Tradisi malam satu Sura bermacam-macam, tergantung dari daerah mana memandang hal ini. Ada yang melakukan tapa bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual. Ritual ini dimaknai sebagai proses untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dijalani selama setahun penuh, untuk menghadapi tahun baru di esok pagi.

Dalam tradisi Jawa, malam satu Sura biasanya melakukan tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan pagelaran wayang kulit. Diantara tradisi tersebut, ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam satu Sura sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun