Mohon tunggu...
Thomas Satriya
Thomas Satriya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sedang mengetik ...

Mari belajar bersama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerakan Reformasi, Membangun Masyarakat Madani

2 Maret 2019   09:04 Diperbarui: 2 Maret 2019   09:21 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Mei 1998. Saya masih kelas dua SMP waktu itu. Tidak tahu betul apa yang sesungguhnya terjadi. Banyak toko dan rumah di pinggir jalan tertempel kertas besar atau kecil bertuliskan "pro reformasi" atau "milik pribumi". Ketidaktahuan ini agak tertolong ketika teman sekolah saya waktu itu yang gemar berbicara "politik" mulai berapi-api bercerita tentang reformasi dan Soeharto harus turun. 

Di keluarga kami telah terbiasa bahwa politik adalah hal-hal yang jauh di atas sana. Urusan orang-orang besar, yang tinggi sekolahnya, yang  tidak lagi memikirkan masalah perutnya. Keluarga kami, masih berkutat dengan urusan perut. Apapun itu, ketika terkait dengan politik, lebih baik diam.

Dari cerita ibu kuketahui, pada tahun 80an di sekitar rumah kami seorang preman diburu dan akhirnya ditembak mati karena dianggap mengancam keamanan dan ketertiban waktu itu. Yang aku dengar dari ibu dan tetangga, preman ini akrab dengan orang-orang di kampung kami. 

Sama seperti orang pada umumnya, tetapi namanya cukup dikenal oleh orang-orang luar kampung karena keberaniannya. Menurut cerita orang-orang, preman ini seringkali menarik "pajak" dari orang-orang timur asing yang mempunyai toko dan rumah besar di sekitar kampung di pinggir jalan. Semboyan preman ini: "Jangan bikin kacau di rumah sendiri."

Ketika membersihkan dan menata rumah, saya menemukan surat berisi pernyataan tidak terlibat suatu gerakan tertentu yang ditandatangani bapak, saya lupa tanggalnya, sekira tahun 70an. 

Saya temukan surat serupa yang berisi surat keterangan tidak terlibat gerakan tertentu tersebut dari aparat pemerintah, masih dari tahun yang sama. Surat itu dibutuhkan kantor tempat bapak bekerja waktu itu.

Kembali ke masa kini, hampir 21 tahun reformasi berjalan. Sebagian orang, mungkin termasuk saya, tanpa disadari merindukan masa-masa ketakutan berbicara, merindukan penghakiman dan penghukuman tanpa pengadilan, merindukan diskriminasi, dan merindukan kontrol menyeluruh dari aparat pemerintah kepada warganya, termasuk pers. 

Bisa jadi kerinduan ini karena saya tidak begitu paham tentang politik, visi dan misi reformasi. Atau mungkin, karena saya hanya mementingkan persoalan perut saja dalam politik, dan tidak terkait dengan visi, cita-cita masyarakat yang diperjuangkan, atau mengapa kita harus berjuang untuk cita-cita tersebut. Sebagaimana gambaran apatisme dan ketakutan orang pada politik waktu itu, yang terpenting adalah perut kenyang, beras tercukupi.

Namun, bukankah itu visi pemerintahan yang telah bertahan 32 tahun dan berhasil dirobohkan oleh gerakan reformasi itu? Mengabaikan hak-hak politik warganya, dan hanya mengabdikannya pada ekonomi semata, apa yang salah?

Dalam buku Visi dan Agenda Reformasi: Menuju Masyarakat Indonesia Baru (Kanisius, 1999), Ninok Leksono, sebagaimana diceritakan Jakoeb Oetama dalam "Kata Pembuka", mempertanyakan apakah ongkos sosial, yakni yang terkait dengan moralitas, etika politik, dan etika kekuasaan yang harus dibayar oleh bangsa ... sepadan dengan kemajuan ekonomi yang telah diperoleh (hal.11). 

Karena pengabaian-pengabaian etika dan moralitas ini, tidak mengherankan apabila dalam kekuasaan Orde Baru memuncak semua gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai silih kemajuan ekonominya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun