Ramainya iklan secara besar-besaran di media sosial seakan menggambarkan betapa menarik dan sangat menguntungkan dalam arti bisa memberi laba yang besar.
Kenyataan sebenarnya para pedagang pengecer yang membeli dari importir pakaian ini sebenarnya masuk dalam permainan spekulasi atau untung-untungan.
Misalnya membeli satu bal pakaian bekas dengan berat 100 kg seharga 1 juta rupiah. Diharapkan bisa dijual dan mendapat keuntungan sekitar 500 ribu rupiah. Ternyata pakaian yang di dalam karung besar yang terikat rapat dan layak dijual atau setidaknya menarik perhatian konsumen yang kebanyakan dari ekonomi lemah ternyata hanya sekitar 50% atau separuhnya saja. Bahkan separuh dari 50% masih ada yang tidak menarik konsumen karena mode yang tidak sesuai dengan keadaan di sini. Kalau pun laku memerlukan waktu cukup lama dengan konsekuensi beaya sewa lapak juga besar.
Di sinilah ketegasan pemerintah dalam melarang impor dan perdagangan pakaian bekas harus dijalankan. Bukan hanya ramai di suara tanpa tindakan nyata. Bukankah larangan ini bergaung sejak dua puluh tahun lalu?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!