Pensiun Bukan Sekedar Masalah Finansial
2019 saat pertemuan terakhir para guru dan karyawan yang akan pensiun di yayasan tempat saya bekerja, banyak yang kaget menganggap saya pensiun dini. Padahal saat itu saya sudah dikaryakan lagi selama dua tahun.
Mereka terkaget-kaget dengan tampang saya tidak seperti mbah-mbah. Tidak pantas untuk pensiun.
Belum setahun pensiun, lima teman yang purnabakti terserang stroke.
Secara ekonomi mereka mapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa mengganggu ekonomi anak-anaknya.
Masalah mereka hanyalah ketidaksiapan menghadapi pensiun. Bahasa ilmiahnya mengalami post powersyndrome alias pps.
Tentang post powersyndrome atau pps ini sudah banyak dibahas dan diulas. Jadi saya tidak mengulas lagi. Cuma berbagi pengalaman bahwa dana pensiun atau ekonomi bukanlah masalah utama saat purnabakti.
Purnabakti dari suatu perusahaan atau kantor boleh. Purnakarya jangan! Hla khusus yang satu ini saya bahas nanti.
Sekarang saya bicara ekonomi di usia senja menjelang matahari terbenam.
Selama empat puluh tahun jadi guru, saya pindah yayasan empat kali dan sekali dari PNS saat sudah II B. Satu-satunya alasan yang paling tepat adalah ingin bebas!
Saat pensiun, teman-teman seperjuangan saat sekolah dan kuliah mendapat pesangon dari BPJS Ketenagakerjaan sekitar 250 - 300 juta, saya hanya menerima 60 juta.
Pensiun teman-teman perbulan rerata 3-3,5 juta, saya hanya menerima 600 ribu.
Mungkin pembaca gak percaya. Gak apalah. Masak saya harus kirim bukti fotocopy transfer bank.
Pasti ada dana lain. Memang ada tapi tak pernah cair gegara asuransi plat merah kacau-balau diubek-ubek koruptor. Sudahlah!
Hidup itu yang penting happy. Ya ga?
Uang menipis ya kulakan sayur atau gabah. Ada uang lebih ya kerjasama dengan petani mengolah sawah atau kebun. Mau menanam sayur, tomat, padi, atau apa saja.
Tak ada pekerjaan... Ya gowes saja. Bosan gowes ya touring dengan sepeda motor. Bosan touring ya jalan-jalan ke hutan.
Yang penting happy.
Uang banyak cuma bisa memandang langit-langit rumah sungguh tak nyaman.