Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Seikat Mawar Merah di Dadaku

28 Januari 2020   11:00 Diperbarui: 28 Januari 2020   13:34 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sering kita berjalan berdua menyusuri lorong perkampungan kumuh di tengah kota atau trotoar depan pertokoan tanpa peduli riuhnya gerimis dan tetesan tampias air hujan yang membasahi kita.

Kadang kita sepayung berdua sambil kurangkul pundakmu atau pinggangmu serta sedikit malu kulirik engkau yang terus berceloteh apa yang harus kita lakukan di gereja. Aku hanya diam dengan terus melangkah sambil merasakan degup jantungku yang menggelora karena hangatnya perasaan di tengah dinginnya gerimis senja.

Sering kita duduk berdua di bangku gereja di depan altar kala kau harus mendaraskan Mazmur dan aku membaca kalam kudus. Ingin kutatap wajahmu kala itu, namun aku malu dengan teman-teman yang ada di sebelah kita.

Kadang kau bertanya padaku mengapa tak menjemputmu ke gereja. Sebuah pertanyaan yang kadang tak kumengerti artinya. Cintakah kau padaku?

Kadang kubayangkan kau membawa seikat mawar merah berjalan menuju altar bersamaku mengucap janji sehidup semati mengarungi samudra kehidupan berdua seperti Maria dan Yosep menuju Betlehem. 

Bertahun semua berlalu dan ingin kuungkapkan gejolak hati ini, entah mengapa mulutku selalu terkatup. Hingga satu persatu sahabat mudika meninggalkan kita dengan bahtera indah mengarungi hidup.

Masih kuingat kala di depan altar seikat mawar merah di bawah kaki Bunda Maria kuambil dan kuberikan padamu yang kau terima dengan senyum manis yang membuatku tersipu.

Sore itu, sepulang gereja sepayung berdua kita kembali menyusuri jalanan kota yang dibasahi derasnya gerimis senja. Kugandeng dirimu dengan jemari mungilmu yang terasa menghangatkan diriku untuk mengatakan aku mencintaimu.

Di persimpangan jalan itu hujan semakin deras dan kita hanya bisa berdiri di depan selasar toko menunggu reda sambil bercerita tentang desa kita. Cita-cita dan harapanmu hingga akhirnya kau katakan.... Ingin hidup membiara. 

Pyaaar...cipratan kubangan air hujan yang terlindas mobil membuat kita tertawa dan meredakan degup jantungku yang bergejolak mendengar akhir ceritamu.

- - -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun