Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rokok, Mulai untuk Sesaji sampai Gaya Hidup Emak-emak

30 September 2019   10:10 Diperbarui: 1 Oktober 2019   03:45 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal yang tak mungkin lagi akan kulakukan jika ada pesan sponsor dari pejabat ketika memberi sambutan atau semacam renungan pada acara desa adalah masalah rokok. 

Sekali pun saya bukan perokok dan agak anti rokok saya tak akan melarang orang lain untuk tidak merokok. Kecuali pada kerabat sanak saudara. Jika toh ada tamu perokok ke rumah kupersilakan bincang-bincang di luar rumah saja.

Di rumah memang selalu tersedia dua slop rokok klembak yaitu rokok dengan campuran sedikit kemenyan yang menebarkan aroma khas serta rokok klobot yang dilinting dengan daun buah (bukan batang) jagung. 

Rokok itu hanya saya gunakan untuk ritual khusus agar lebih sakral atau seseorang (dukun dan para normal) meminta. Rokok klobot masih mudah didapat namun rokok klembak hanya bisa dibeli di daerah Jogja dan Kebumen.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Mengapa saya enggan berkampanye untuk tidak merokok?

Tiga tahun lalu, menjelang pembukaan pagelaran wayang kulit di sebuah kecamatan saya diminta memberi sambutan dengan menyinggung bahaya merokok padahal acara tersebut disponsori oleh sebuah perusahaan rokok tingkat nasional. 

Dan, di meja tamu VIP juga disediakan rokok perusahaan tersebut. Ditambah lagi di kiri kanan panggung terpasang spanduk agar tidak membeli rokok illegal yang merugikan pendapatan negara hampir 1 trilyun per tahun.

Seorang tokoh agama dan pejabat yang akan memimpin doa rupanya juga mendapat pesan sponsor untuk sedikit menyinggung tentang bahaya rokok dan hasil cukai rokok. Inti sang tokoh ini berpesan 'kalo merokok tahu tempat, waktu, ukuran, dan kebutuhan lain. 

Jangan seperti kereta api yang terus mengepul tapi kebutuhan keluarga dan pekerjaan terlupakan. Jangan lupa kalau beli rokok jangan yang tak bercukai. Merokok memang bisa menurunkan kesehatan tapi tak akan membuat kalian mati kok...'

Jelas kedua sambutan ini saling bertolak belakang dan membenturkan.

Dokpri
Dokpri
Sesaji di kuburan. Dokpri
Sesaji di kuburan. Dokpri
Sesaji di rumah. Dokpri
Sesaji di rumah. Dokpri
Rokok dalam kehidupan masyarakat.

Entah sejak kapan rokok menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia, yang kini justru menjadi kebutuhan sekunder yang sulit ditinggalkan. 

Bahkan bagi sebagian orang menjadi kebutuhan pokok (untuk kenikmatan pribadi) yang jika tak terpenuhi akan membuatnya limbung tak berdaya. Lebih baik lapar daripada tak merokok. Ada yang berpendapat demikian.

Sebagai gaya hidup, merokok bukan hanya ada pada kaum pria saja atau orang yang berpenghasilan cukup. Tetapi juga merambah pada kaum wanita termasuk mereka yang perpenghasilan pas-pasan. Entah di kota atau di desa. 

Entah ekskutif muda wanita yang malu-malu merokok di tempat kerja namun saat di kafe dengan gaya kekinian menghisap rokok sejenis yang dihisap kaum buruh di pojok bangunan yang belum selesai.

Jika hingga akhir 70an, sering kita jumpai kaum wanita paruh baya hingga lansia di pedesaan atau sedikit di kota mengunyah kinang bahkan di rumah disediakan kinangan yang terbuat dari kuningan dan keramik, maka kini sudah jarang. 

Memang masih ada di pedesaan yang menginang namun perangkat kinangan sudah menjadi barang antik. Tidak ada lagi wanita menginang bukan sekedar karena tidak doyan karena rasanya memang pait sengir tetapi juga membuat bibir, gigi, dan multt sedikit berubah bentuk seperti agak dower serta warna menjadi merah kehitaman. 

Selain itu kurang etis meludah sisa-sisa kinangan yang kotor. Bisa juga wanita enggan menginang karena kuatir ditinggal pasangannya yang enggan menciumnya. Anehnya, kaum wanita lansia dan kaum sudra yang sudah tidak lagi menginang kini menjadi seorang perokok aktif yang terang-terangan. 

Mudah dijumpai di pinggiran Bringharjo, Kidul Stasiun Jogja, Pasar Kembang, atau wilayah pedesaan manapun. Apalagi di wilayah pegunungan dan pedalaman. Hanya saja kaum wanita muda (desa dan kota) masih malu-malu, kuatir dianggap wanita nakal dan anggapan minor lainnya.

Hal lain tentang merokok, perubahan gaya hidup wanita lansia yang meninggalkan kinangan dan ganti merokok, ternyata ini juga berlaku untuk memberi sesaji baik di rumah maupun di tempat keramat. Jika dulu sesaji berupa bunga, makanan kesukaan leluhur, kopi dan air putih, serta kinangan dan rokok. Maka kini kinangan juga mulai disingkirkan dan diganti dengan rokok. 

Alasan bukan karena kinangan sulit didapat tetapi lebih berarti mengikuti jaman. "Buyut sudah tidak doyan menginang." Ada yang berpendapat demikian.

Tembakau untuk tingwe (melinting dewe) Dokpri
Tembakau untuk tingwe (melinting dewe) Dokpri
Rokok klembak menyan. Dokpri
Rokok klembak menyan. Dokpri
Apa sih nikmatnya merokok?

Pertanyaan ini terlontar ke kakek saya, sekitar tahun 64an kala kami masih di Kebumen. Kala itu, Kakek mengambil sesobek daun kering pisang susu yang dilinting dengan sedikit tembakau lalu dijadikan rokok kala tak punya uang. Kakek menggeleng dan menjawab lirih,"Menghilangkan jenuh."

"Kalau rokok klembak?" tanyaku lugu. "Padha wae..." Sama saja, jawabnya enteng.

"Kok diberi menyan?" desakku yang masih SD. "Ben wangi, ndik mburi kae mambu jumbling, kandang, karo telek pitik." Biar harum, di belakang bau WC (terbuka), kandang, dan kotoran ayam.

Sejak saat itu saya memahami bahwa rokok klembak dan menyan bukanlah untuk memanggil lelembut tetapi sebagai pengharum suasana dan aroma terapi menurut kearifan lokal Jawa. Dan merokok termasuk dengan aroma kemenyan hanyalah salah satu cara untuk mendapat kenikmatan. Tak lebih.

Main rebab sambil merokok. Dokpri
Main rebab sambil merokok. Dokpri
Perupa perokok. Dokpri
Perupa perokok. Dokpri
Patung perokok dari bonggol jati hasil karya perupa dari Ngawi. Dokpri
Patung perokok dari bonggol jati hasil karya perupa dari Ngawi. Dokpri
Merokok memancing inspirasi?

Beberapa karyawan kami, kalau pikiran buntu atau saat istirahat akan merokok di tempat yang telah ditentukan. Ketika kembali bekerja mereka akan sedikit bersemangat melanjutkan tugas. Karena merokok? Mereka mengatakan tidak sepenuhnya.

Beberapa seniman ketika berkarya juga sambil merokok. Apakah inspirasi bertambah mereka? Mereka menjawab enteng jika merokok hanya kebiasaan. Tetapi ada salah satu seniman (perupa) yang terinspirasi membuat patung perokok yang terbuat dari bonggol kayu jati.

Bagaimana dengan wanita buruh tani atau pedesaan yang merokok? Gantinya menginang, jawabnya ringan. Pun mengaku tak ada faedahnya selain sedikit kenikmatan untuk melupakan kejenuhan.

Artinya merokok memang bukan sebuah kebutuhan tetapi sebuah gaya hidup berbeda untuk sebuah kenikmatan yang jika tak terpenuhi bisa membuat yang kecanduan akan kelabakan.

Jika harga rokok naik? Bisa membeli rokok putihan. Rokok tanpa cukai produksi rumahan. Tanpa bungkus kertas selain plastik. Walau membelinya tidak secara terus terang selain tutur tinular. 

Tak kuatir sakit? Ah, sudah puluhan tahun saya merokok cuma batuk-batuk karena masuk angin. Jawab seorang Emak yang sedang merokok di pinggir sawah. Dilema.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun