Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menyusuri Hutan Bambu Tepi Sungai Bango dan Kali Sundeng, Malang

1 Juli 2019   13:09 Diperbarui: 3 Juli 2019   08:54 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungai Bango dan Kali Sundeng merupakan salah dua dari sekitar sepuluh anak Sungai Brantas yang melintas di Malang.  Sungai Bango bersumber dari wilayah Gunung Bromo dan melintas tepat di perbatasan timur kota dan kabupaten Malang, yakni di Kalisari. Bahkan di beberapa titik jauhnya tak lebih dari 4 km dari pusat pemerintahan kota Malang. Seperti di gerbang utama Perumnas Sawojajar yang bisa ditempuh dengan sepeda pancal hanya sekitar 10 menit saja.

Sungai Bango bisa dikatakan tak pernah mengalami penyurutan yang cukup berarti, sebab tepat di gerbang perbatasan timur Sungai Bango bertemu dengan Sungai Wendit yang bersumber dari Goa Widodaren yang ada tepat di tengah pemandian alam Taman Wisata Wendit. Jarak tempat pertemuan dua anak sungai ini (dalam istilah Bahasa Jawa disebut tempuran) hanya sekitar dua kilometer saja.

Kali Sundeng sendiri jaraknya dari Sungai Bango rerata tak lebih dari lima puluh meter saja. Namun terpisahkan dengan jurang dengan kedalaman antara 10 hingga 75m. Sungai Bango berada di samping barat Kali Sundeng.

Kali Sundeng 1km dari titik awal. Satu-satunya titik yang ramai dan modern. Dokpri
Kali Sundeng 1km dari titik awal. Satu-satunya titik yang ramai dan modern. Dokpri
Dokpri
Dokpri
Bertemu pemburu biawak. Dokpri
Bertemu pemburu biawak. Dokpri
Awas kepala. Dokpri
Awas kepala. Dokpri
Kali Sundeng sebenarnya bukan sungai atau kali alami, tetapi sebuah saluran irigasi yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahan. Hanya saja penulis belum mendapat data resmi kapan saluran irigasi ini dibangun. Tujuan pembangunan saluran irigasi adalah untuk mengairi lahan perkebunan tebu yang terhampar ratusan hektar yang ada di timur Kota Malang. Namun sejak pertengahan tahun 80an banyak lahan tebu yang telah berubah menjadi komplek perumahan. Bahkan di Sawojajar menjadi kota satelit dengan sekitar 8.000 unit rumah! 

Sekali pun banyak lahan yang telah berubah menjadi komplek perumahan, namun saluran irigasi atau Kali Sundeng ini tetap dirawat dan digunakan sebagai pemecahan atau pembagi air kala debit air Sungai Bango dan Sungai Wendit melebihi kapasitas yang dapat menyebabkan banjir di daerah bawah atau hilir. 

Namun kala debit air Sungai Bango dan Sungai Wendit menurun maka pintu air Kali Sundeng di Dam Kalisari ditutup sehingga debit air di Kali Sundeng surut bahkan mati dalam beberapa jam atau setengah hari. Maka dari itu Kali Sundeng hanya bisa untuk saluran irigasi dan tak bisa untuk pengembangan perikanan air tawar atau karamba.

Hingga awal tahun 90an tepi timur atau atau atas Sungai Bango dan sisi barat Kali Sundeng  masih menjadi jalan setapak bagi masyarakat sekitar Desa Jabon, Mangliawan, Sekarpuro, Sawojajar, Lesanpuro, Madyapuro, dan Cemoro Kandang untuk berjalan kaki atau naik sepeda pancal menuju kota Malang untuk bekerja, berdagang, dan sekolah.

Sepertiga perjalanan. Dokpri
Sepertiga perjalanan. Dokpri
Pulang dari belik. Dokpri
Pulang dari belik. Dokpri
Dokpri
Dokpri
Tepat di bawah Jembatan Sulfat. Dokpri
Tepat di bawah Jembatan Sulfat. Dokpri
Setelah adanya perumahan Sawojajar dengan infrastruktur yang lengkap termasuk pembangunan Jembatan Kwangsan atau Ranu Grati di gerbang barat Perumnas Sawojajar pada tahun 87 serta pembangunan Jembatan Sulfat di sisi utara yang dibangun pada awal 2000an serta peningkatan ekonomi masyarakat yang banyak mempunyai sepeda motor, maka jalan setapak tersebut jarang digunakan selain oleh kaum manula yang ingin mandi di belik atau mata air di tepi sungai. Di selatan Sawojajar malah jalan setapak kini telah menjadi hutan ilalang dan bambu yang rimbun sekali.

Tertarik keadaan lingkungan yang dulu cukup ramai dan kini berbalik menjadi sepi dan cenderung menjadi hutan bambu, hari Minggu, 30 Juni 2019 kemarin kami berdua kembali menyusuri hutan bambu tepian Sungai Bango dan Kali Sundeng.

Perjalanan kami awali dari titik timur Jembatan Kwangsan atau Ranu Grati yang jarak dari rumah hanya sekitar 800m saja. Hanya lima puluh meter dari gerbang suasana pedesaan sudah terasa. Hutan bambu, pohon elo, dan semak belukar di sebelah kiri dengan kicauan burung tengkek dan cendet sering terdengar. Di sisi kanan yang terlihat adalah bagian belakang rumah-rumah penduduk Desa Sawojajar yang membelakangi Kali Sundeng dan Sungai Bango. Mereka membangun rumah dengan membelakangi sungai mungkin ngeri atau takut melihat gelapnya suasana kala malam atau setidaknya saat mendung dan hujan. Padahal menurut saya sebenarnya cukup menarik, indah, dan alami jika menghadap ke sungai yang cukup jernih.

Gak berani! Dokpri
Gak berani! Dokpri
Titian bambu ke 7. Dokpri
Titian bambu ke 7. Dokpri
Di bawah Jembatan Sulfat. Dokpri
Di bawah Jembatan Sulfat. Dokpri
Dari titik awal di Jembatan Ranu Grati kami berdua menyusuri tepian Sungai Bango dan Kali Sundeng menuju ke utara di Jembatan atau Dam Kali Sari hanya berjarak tak lebih dari 7 km saja. Namun bukan berarti mudah dilalui jika tak ada sedikit jiwa petualang. Rerimbunan hutan bambu milik penduduk dan semak belukar, dan tiga pemakaman yang sepi tentu bisa membuat sedikit merinding. Apalagi kadang dikejutkan oleh melintasnya biawak yang sedang mencari mangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun