Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suatu Pagi di Satu Sudut Pasar Tradisional Tumpang, Malang

19 April 2019   08:48 Diperbarui: 19 April 2019   10:31 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat, 19 April 2019 jam 6 pagi, mentari sudah merekah menghangatkan cuaca dingin di kisaran 19C di sekitar wilayah Ngadas, Gubug Klakah, Tumpang, dan sekitarnya. Mendung dan gerimis yang menghujam hampir setiap hari selama dua bulan terakhir tampak tak menunjukkan dirinya.  

Cuaca seperti inilah yang ditunggu para pedagang kecil yang merupakan bagian dari para buruh tani untuk mencari nafkah dengan berjualan sayur dan buah hasil kebun mereka yang tak terlalu luas atau membeli dari tetangga lalu dijual kembali di lapak-lapak sementara sisi timur Pasar Tumpang.

Sebut saja Pak Ngatiman, seorang petani tebu dari Desa Kunci yang kini membawa sekitar 30 ikat petai hasil dua pohon yang ada di pinggir kebunnya dan sebagian lagi membeli dari tetangganya. Perikat berisi sepuluh batang petai yang dijual seharga 15.000 perbatang. 

Jika habis maka akan mendapat 450.000 rupiah. Pembelinya pun bukan hanya ibu-ibu untuk dimasak sendiri tetapi juga pedagang kecil yang akan dijual keliling kampung. Salah satunya adalah Pak Kardi dari Pandasari.

Dokpri
Dokpri
Berdagang sekedarnya. Dokpri
Berdagang sekedarnya. Dokpri
Ada juga Bu Wariyah, seorang wanita paruh baya yang masih hidup sendiri karena keadaan fisiknya, berjualan papaya dan aneka buah tradisional seperti sirsak, bengkowang, dan pisang serta beberapa ikat sayuran seperti kemangi, sawi, dan kangkung. Buah dan sayur yang harganya tak seberapa namun bisa memberi kehidupan baginya yang tak mau tergantung pada belas kasihan orang lain. Sehari ia bisa mendapat laba tak lebih dari 30ribu. Tapi baginya adalah sebuah anugerah.

Di sudut lain Mbok Sarmi dan Mbah Jum, duduk berdampingan. Mbok Sarmi membuat dan berjualan lontong sekedar mengisi waktu di masa tuanya daripada hanya luntang-lantung di rumah  karena sudah tak kuat lagi bertani. Mbok Sarmi memang ahli membuat lontong. Ia sering menerima pesanan dari beberapa warung yang ada di sekitar Tumpang.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Sedangkan Mbah Jum, memang sejak dulu seorang mlija atau pedagang sayur keliling kampung. Seiring usianya yang sudah senja dan tenaganya berkurang, ia hanya berjualan sayur ala kadarnya seperti jagung muda, manisa, terong, mentimun, wortel, dan juga durian.

Pak Ngatiman, Pak Kardi, Bu Wariyah, Mbok Sarmi, dan Mbah Jum adalah sedikit gambaran dari pedagang kecil yang hidupnya tergantung pada dinamika pasar tradisional. Sebagai pedagang kecil dalam arti modal dan yang dijual mereka tak membutuhkan lapak atau bedak permanen untuk memajang dan menjual barang dagangannya. Yang dibutuhkan adalah tempat sementara yang tak lebih dari 4 jam dalam sehari. Tempat itu bisa saja di depan toko, di bawah pagar pembatas, di depan bedak semi permanen pedagang lainnya, di sudut pasar, di depan mobil parkir, atau di bawah tiang listrik atau pohon peneduh.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Pasar Tumpang, salah satu pasar tradisional yang ada di timur Malang seperti wilayah Kecamatan Tumpang dan Ponco Kusumo dan Wates. Pasar ini menjadi pusat pergerakan perekonomian masyarakat puluhan desa yang ada di sekitarnya, seperti Gubuk Klakah, Tosari, Duwet, Precet, Kemulan, Tulus Ayu, Tulus Besar, Kebon Sari, Coban Jae, Malang Suko, Ledok Ombo, Pandan Sari, Karang Anyar, bahkan Jarak Ijo dan Ngadas yang semuanya merupakan wilayah subur gemah ripah loh jinawi. Sebuah wilayah di lereng Gunung Bromo dan Semeru.

Pasar Tumpang memang telah direnovasi dengan gaya kekinian, namun bukan berarti gaya tradisional masyarakat dalam berdagang tergerus jaman. Memang kala pasar mulai sepi dari pedagang dan pembeli, wajah kumuh tampak terlihat jelas. 

Di sinilah pemangku tanggungjawab harus mengambil alih kebersihan dan keindahan agar esok pagi pasar ini kembali menjadi tempat yang menarik untuk geliat perekonomian masyarakat desa khususnya mereka yang bermodal kecil.

Dokpri
Dokpri
Dagangan habis, menunggu jemputan suami. Dokpri
Dagangan habis, menunggu jemputan suami. Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun