Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bulan Merah di Atas Puncak Mahameru

29 Juni 2018   08:27 Diperbarui: 30 Juni 2018   12:11 2172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tergeletak di sisi tempat sampah.|Dokumentasi pribadi

Siapa yang tak mengetahui Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, sebuah wilayah dataran tinggi yang membentang luas di empat kabupaten yakni Malang, Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan? 

Keindahan alam dengan gugusan beberapa gunung dari yang terkenal seperti Bromo, Semeru, Batok, Widodaren, Kursi, dan gunung-gunung kecil di sekitarnya amat mempesona siapa pun yang memandangnya. 

Kesuburan tanah perbukitan dengan lahan-lahan berundak (terasering) membuat wilayah ini sesuai dengan yang disebut dalam ajaran Jawa, yakni gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharjo. Artinya tanah yang subur membuat para warganya hidup dalam kemakamuran serta kedamaian dalam tatanan hokum yang berlaku. 

Kearifan dan keunikan budaya lokal masyarakat Suku Tengger dengan berbagai upacara tradisional yang relegius semakin menguatkan citra wilayah ini sebagai nirwana yang ada di Pulau Jawa. Apalagi dengan sakralitas Gunung Bromo dan Semeru yang masih melekat kuat di masyarakat Suku Tengger. 

Keadaan inilah yang membuat daya tarik masyarakat luar termasuk mancanegara untuk mengunjungi wilayah ini. Pemerintah pun menetapkan wilayah ini sebagai daerah tujuan wisata dengan salah satu tujuannya untuk meningkat pendapatan nasional termasuk juga lebih mengangkat perekonomian masyarakat setempat. 

Dalam sepuluh lima belas tahun terakhir, perubahan kehidupan masyarakat pun terlihat jelas. Dari perilaku ekonomi, sosial, dan budaya yang arif mulai bergeser dalam kehidupan masyarakat masa kini.

Secara ekonomi bahwa kehidupan sebagian besar masyarakat Suku Tengger bisa dikatakan amat tinggi daripada wilayah lain. Namun, di sisi lain kehidupan sosial dan budaya juga mulai tergerus budaya luar. Upacara atau ritual agung yang bernuansa religius kini bergeser sedikit demi sedikit menjadi sebuah acara yang bernuansa profan dan lebih mengarah pada sebuah pertunjukan. Bisnis wisata. Pedih.

Ritual upacara pengukuhan Dukun Adat baru menjelang Yadnya Kasada.|Dokumentasi pribadi
Ritual upacara pengukuhan Dukun Adat baru menjelang Yadnya Kasada.|Dokumentasi pribadi
Kamis, 28 Juni 2018

Jam 14.35

Setelah dua jam mengikuti upacara pengukuhan 'dukun adat baru' di Pura Agung Poten di bawah kaki puncak Gunung Bromo dan Batok yang dipimpin oleh Pak Sutomo, seorang Dukun Pandita dari Desa Ngadisari, Probolinggo dilanjutkan melarung sesaji ke kawah Gunung Bromo saya pulang dengan kegundahan hati akan suasana kehidupan masyarakat Suku Tengger saat ini.

Upacara yang saya ikuti boleh dikatakan masih cukup khidmat dan agung, namun di sebelah Pura Agung Poten suasana jauh berbeda. Puluhan lapak makanan dan mainan pedagang kaki lima, mobil wisatawan, raungan sepeda motor trail, dan beberapa mobil pribadi yang sengaja menerobos batas masuk wilayah sakral telah mengganggu sakralitas suasana di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun